REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam pendahuluan kitab ini, Syekh Fadhol menjelaskan tentang persatuan umat Islam di masa Rasulullah, di mana saat itu kaum muslimin belum berselisih dalam hal akidah dan amaliah. Namun, setelah Rasulullah wafat, mulailah terjadi perselihan secara terang-terangan di kalangan umat Islam, khususnya pada masa Utsman bin Affan.
Lalu, ketika kekhalifahan jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib, perselisihan itu pun semakin membesar. Saat itulah umat Islam terpecah belah menjadi dua golongan, yaitu golongan khawarij dan golongan Syi’ah. Pada perkembangkannya, umat Islam terus terpecah belah dan masing-masing mengaku paling benar.
Menjelang masa tabi’in berakhir, baru muncullah kelompok Aswaja. Kelompok ini konsisten mengikuti sunnah Nabi dan jalannya para sahabat, baik dalam hal akidah, fikih, syariat, dan tasawuf. Selanjutnya, kelompok Aswaja ini sibuk mempertahankan argumentasi dan dalil terkait masalah-masalah keyakinan, masalah fikih, mengodifikasi hadits-hadits nabi, dan sibuk mengurusi amaliah badan dan pembersihan hati dari akhlak tercela.
Mengutip penjelasan Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya, Syekh Fadhol mengatakan, perbedaan di kalangan para mujtahid tentu hal yang tak bisa dihindari sebab perbedaan pengetahuan dan analisis mereka. Semula memang banyak pilihan mazhab dalam fikih, namun akhirnya tersisa empat saja.
Keempat imam mazhab tersebut tentu bukan orang sembarangan. Mereka memiliki kompetensi dalam berbagai bidang, seperti bidang fikih, akidah, hadis, dan olah batin, tetapi fokus mereka lebih ke fikih karena pada masa itu memang diskursus kajian fikih berada pada titik puncaknya.
Setelah masa keempat imam mazhab, menurut Syekh Fadhol, bid’ah dan penyelewengan semakin kuat dan menyebar ke berbagai penjuru dunia. Pada saat itulah imam-imam dari keempat mazhab tersebut bersatu mempertahankan dan memperjuangkan akidah yang dipegang teguh oleh Salaf Ash-Shalih.
Perjuangan itu kemudian mengerucut pada dua imam, yakni Abu al-Hasan al-Asy’ari yang bermazhab Syafi’i dan Abu Manshur al-Maturidi yang bermazhab Hanafi. Keduanya begitu semangat mempertahankan dan memperjuangkan apa yang sesuai dengan jejak Nabi Saw dan jalannya pada sahabat nabi.
Kedua teolog itu pun mendapat simpati dari umat hingga mereka mencukupkan diri untuk mengikuti Imam Syafi’i dan Imam Hanafi sebagai mazhab dalam hal akidah. Dalam konteks ini, maka umat Islam pun terpecah menjadi dua yakni Asy’ariah dan Maturidiyah.
Kedua mazhab inilah yang kemudian mengidentifikasi dirinya dengan nama Aswaja. Menurut Syekh Fadhol, identitas ini bertujuan untuk membedakan dari Muktazilah dan golongan lain dari kaum ahli bid’ah. Karena ahli hadits dan ahli tasawuf tidak berselisih dengan Asy’ariah dan Maturudiyah, maka otomatis ahli hadits dan ahli tasawuf masuk ke dalam golongan Aswaja juga.
Namun, menurut Syekh Fadhol, perlu diketahui bahwa sesungguhnya Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi tidak sedang berupaya membuat pemikiran baru dan menciptakan mazhab sendiri. Keduanya hanya meneguhkan kembali eksistensi mazhab salaf dan mempertahankan ajaran yang dipegang teguh pada sahabat Rasulullah.