REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO – Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menjanjikan akan mengeluarkan kebijakan ekonomi bersifat belum pernah dilakukan sebelumnya (unpredecented). Langkah ini dilakukan pemerintah untuk melindungi Jepang dari tekanan ekonomi akibat virus corona (Covid-19).
Abe menggambarkan kebijakan ekonomi pemerintah akan besar dan kuat, mencakup stimulus fiskal, moneter maupun keringanan pajak untuk perusahaan. Namun, ia masih belum bisa memberikan rinciannya.
Abe mengakui, Jepang kini sedang berada dalam tahap kritis dan harus siap untuk menghadapi pertempuran jangka panjang. "Saya ingin terus terang tentang hal ini," ujar Abe dalam konferensi pers yang dilansir di Reuters, Sabtu (28/3).
Pejabat pemerintah dan anggota parlemen mengatakan, Abe diprediksi akan membuat sejumlah stimulus ekonomi, termasuk untuk belanja negara hingga 135 miliar dolar AS atau lebih.
Tingkat infeksi virus corona di Jepang tercatat telah meningkat menjadi lebih dari 1.500 kasus dengan total 52 kematian. Angka ini tidak termasuk kasus dari kapal pesiar yang dikarantina.
Sebelumnya, Gubernur Tokyo Yuriko Koike mengeluarkan permohonan kepada puluhan juta orang di kota dan daerah sekitarnya untuk tidak melakukan perjalanan yang tidak penting atau tidak mendesak sampai 12 April.
Imbauan diberikan mengingat adanya lonjakan infeksi Covid-19 di pada pekan ini yang menyebabkan Tokyo berada di ambang darurat. Orang-orang di daerah Osaka, bagian barat Jepang, juga diminta untuk tinggal di rumah.
Tapi, imbauan tersebut lebih ringan dibandingkan kebijakan di sejumlah negara yang memberlakukan karantina wilayah (lockdown). Misalnya, Italia, Inggris, Prancis, Spanyol, dan Amerika Serikat yang kini menjadi pusat penyebaran Covid-19 setelah Cina mulai pulih.
Kebijakan pemerintahan Jepang yang bersifat sukarela menyebabkan banyak orang dan dunia usaha masih beraktivitas biasa. Meski beberapa pusat perbelanjaan, bioskop, museum, dan taman ditutup, sejumlah swalayan dan toko serba ada (toserba) beroperasi normal.