Sabtu 11 Apr 2020 18:49 WIB

Pakar: Mudik akan Perparah Pandemi Covid-19

Risiko besar akan diderita pemerintah daerah dengan adanya arus mudik.

Rep: Nur Hasan Murtiaji/ Red: Yudha Manggala P Putra
Sejumlah bus antar kota antar provinsi (AKAP) menunggu penumpang di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta, Jumat (10/4). Bus AKAP dari luar Jakarta yang akan menuju Ibu Kota diberi batas waktu hingga pukul 18
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah bus antar kota antar provinsi (AKAP) menunggu penumpang di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta, Jumat (10/4). Bus AKAP dari luar Jakarta yang akan menuju Ibu Kota diberi batas waktu hingga pukul 18

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tradisi mudik menjelang dan di akhir Ramadhan berpotensi membuat penyelesaian pandemi virus corona semakin sulit. Risiko besar akan diderita pemerintah daerah dengan adanya arus mudik tersebut.

"Ada 27,5 juta lansia, lebih dari 60 persen memiliki hipertensi, dan segala potensi kerentanan Covid-19 sangat berpotensi terkena gangguan pernapasan," kata Aqsha Azhary Nur dalam webinar TidiTalks yang diadakan oleh The Indonesia Initiative (TIDI), dalam rilis kepada Republika, Sabtu (11/4).

Mahasiswa pascasarjana John Hopkins School of Public Health Amerika Serikat itu mengkhawatirkan jika terjadi mudik, infrastruktur kesehatan di daerah tidak cukup kuat untuk menangani pasien corona. "Akan ada 2,5 juta kasus kalau tidak ada intervensi sangat kuat, termasuk pembatalan kegiatan momentum mudik," kata Aqsha

Di seluruh Indonesia, ungkapnya, hanya tersedia 8.413 ventilator yang tersebar di 2.867 rumah sakit. "Kondisi di Jakarta saja dokter sudah meraung-raung karena keterbatasan fasilitas. Apalagi kalau di daerah. Sedangkan bantuan untuk mengatasi Covid-19 ini mayoritas sudah diturunkan ke DKI,” katanya. Aqsha berharap, pemerintah daerah dapat mengambil tindakan antisipasi lebih guna mengatasi permasalahan ini.

Pada kesempatan yang sama, analis psikologi sosial Tidi, DR Irfan Aulia, menekankan perlunya peran jejaring informal guna menghambat keinginan orang untuk mudik. “Mudik perlu dilihat sebagai sebuah fenomena sosial dan psikologis. Orang Indonesia pada dasarnya punya keterikatan dengan tanah, tanah ekonomi tempat merantau, dan tanah air atau kampung halaman," kata Irfan.

Irfan memberi contoh penerapan jejaring informal. Jika orang tua di kampung halaman yang mengatakan agar jangan mudik kepada yang berada di perantauan, maka hal ini lebih didengar dibandingkan himbauan pemerintah.

Pemerintah, katanya, harus masuk pada aturan terkait perilaku, bukan hanya norma agar imbauan dapat berjalan efektif. Misalkan, secara spesifik mengatakan, jangan berkumpul lebih dari lima orang, tidak boleh keluar rumah kecuali untuk hal yang darurat.

Herika Muhammad Taki menekankan peran pemerintah dalam melakukan pengawasan sangat penting untuk mengontrol penyebaran Covid-19. Doktor Urban and Regional Planning lulusan King Abdulaziz University ini membandingkan upaya pengawasan di luar negeri yang jauh lebih ketat dibandingkan di Indonesia.

Pemakaian aplikasi gawai di luar negeri, sebagai contoh, memang dimaksimalkan untuk melakukan pengawasan. Warga yang kedapatan keluar rumah akan segera dihubungi petugas agar mau kembali ke rumah. "Di Indonesia aplikasi sejenis hanya menjadi gimmick," katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement