REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai agama yang rahmatan lil alamin, Islam sebagai agama menganut prinsip memudahkan pemeluknya. Salah satunya dapat dilihat dari bagaimana rukhsoh (keringanan) dalam beribadah individual dan sosial ada kalanya dibolehkan.
Dalam sholat misalnya, umat Muslim mengenal adanya keringanan melaksanakan gerakan sholat secara kaffah (sempurna/menyeluruh) apabila berada pada kondisi tidak normal dan darurat. Bila tidak bisa berdiri, maka umat Muslim diperbolehkan sholat dengan duduk. Tak bisa duduk, diperbolehkan shalat dengan berbaring.
Lantas bagaimana sholat bagi orang yang mengalami kelumpuhan total? Berdasarkan buku Pedoman Standar Pelayanan Keperawatan RS Syariah karya kumpulan ahli medis dari Majelis Upaya Kesehatan Islam Seluruh Indonesia (Mukisi) dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), jika seluruh anggota tubuh manusia sudah tak dapat berfungsi namun matanya masih mampu berkedip, maka sholatnya dapat dilakukan dengan gerakan mata.
Karena kedipan tersebut masih masuk makna al-imaa’. Ia dapat mengedipkan matanya sedikit ketika takbir dan rukuk, dan dapat ia kedipkan banyak untuk sujud.
Kedipan itu jika dimungkinkan boleh disertai dengan gerakan lisan ketika membaca bacaan sholat. Jika lisan tak mampu digerakkan, maka bacaan sholat boleh dibaca di dalam hati.
Begitulah kiranya Islam mengatur dan memberikan keringanan kepada penganutnya dalam hal beribadah. Kewajiban shalat lima waktu bagi umat Islam yang beriman adalah sebuah anugerah. Setiap waktunya begitu dinanti untuk kembali mengadu kepada Illahi.