Senin 04 Aug 2025 14:19 WIB

Hubungan Wahyu dan Akal Menurut Imam Asy'ari

Segala kewajiban manusia sebagai hamba Tuhan hanya bisa diketahui melalui wahyu.

Seseorang hendaknya menggunakan akal (ilustrasi)
Foto: wikipedia
Seseorang hendaknya menggunakan akal (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu corak pemikiran ahlus sunnah wal jama'ah (aswaja) ialah moderat. Kecenderungannya selalu mengambil jalan tengah atau titik keseimbangan di antara ekstrem-ekstrem. Sebagai seorang ulama besar dan ahli ilmu kalam, Abu Hasan al-Asy’ari (873-936 M) pun memilih cara moderat, yakni seimbang antara akal dan wahyu.

M Rusydi dalam artikelnya, “Konstruksi Pemikiran Kalam al-Asy’ariah” (2014) menerangkan bagaimana pandangan sang alim. Menurut al-Asy’ari, akal tidak dapat mengetahui apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk. Pembedaan demikian hanya bisa diketahui melalui wahyu. Akal pun tidak dapat membuat sesuatu menjadi wajib. Tidak bisa pula akal mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk itu adalah wajib bagi manusia.

Baca Juga

Yang juga patut dicamkan, akal memang dapat mengetahui adanya Tuhan. Namun, yang mewajibkan manusia untuk mengetahui Tuhan serta berterima kasih kepada-Nya hanyalah wahyu. Melalui wahyu pula, akal mendapatkan pengetahuan bahwa orang yang patuh kepada-Nya akan memperoleh ganjaran dan yang tidak taat akan mendapatkan hukuman.

Dengan kata lain, al-Asy’ari menegaskan, wahyu-lah yang pertama-tama menentukan baik dan buruk. Akal tidak mempunyai kuasa dalam hal ini. Kalau wahyu, misalnya, menyatakan bahwa dusta adalah baik, tentulah berdusta merupakan sebuah kebaikan. Contoh lain, jika wahyu melarang kejujuran, sudah pasti berujar jujur menjadi buruk.

Selanjutnya, al-Asy’ari menunjukkan bahwa norma baik-buruk yang ditetapkan oleh akal—bukan wahyu—tidak dapat menjadi tolok ukur. Sebab, sifatnya adalah relatif dan dapat berubah-ubah sesuai dengan lingkungan, pengalaman dan lain-lain. Apa yang dipandang hari ini oleh akal itu baik, belum tentu baik pula pada hari esok. Sebagai contoh, dalam pandangan akal, membunuh adalah perbuatan buruk. Namun, membunuh boleh menjadi baik dan bahkan wajib, misalnya, saat seseorang terancam nyawanya.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

Lebih jauh lagi, pemahaman demikian dipakai untuk menjelaskan hubungan manusia dengan Tuhannya. Akal manusia dapat mengetahui Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui kewajiban beribadah dan bersyukur kepada-Nya. Segala kewajiban manusia sebagai hamba Tuhan hanya bisa diketahui melalui wahyu. Karena itu, demikian al-Asy’ari, sebelum turunnya wahyu tidak ada kewajiban-kewajiban dan tidak ada pula larangan-larangan bagi manusia.

Jika seseorang sebelum turunnya wahyu itu meyakini keberadaan-Nya, ia bisa disebut sebagai mukmin. Namun, orang itu tidak berhak mendapatkan ganjaran dari Tuhan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement