REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hampir seluruh kepala desa tidak setuju mudik pada tahun ini. Namun, mereka masih ragu antara kebijakan melarang atau mengimbau warganya di kota untuk mengurungkan niat mudik.
Demikian rangkuman hasil polling kepada desa yang diselenggarakan Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi pada Selasa, 14 April 2020. Kepala Pusat Data dan Informasi, Ivanovich Agusta, menambahkan paparannya, namun jelas, opini kepala desa saat ini lebih bersifat rasional daripada terbebani muatan adat, sosial, atau ekonomi jangka pendek.
Jika merujuk kebiasaan dari tahun ke tahun, mudik sebagai salah satu migrasi umat manusia yang terbesar sekaligus singkat ini mendapat dorongan yang kuat dalam aspek budaya dan sosial. Ada ketenangan tak terperikan saat berkumpul dengan keluarga besar, sanak saudara, dan teman-teman sekampung halaman, meski cuma beberapa hari hingga beberapa minggu dalam setahun.
Potensi ekonomi mudik yang masuk ke desa juga terlalu tinggi untuk dikesampingkan. Merujuk publikasi Kementerian Perhubungan, setidaknya 23 juta warga desa di kota mudik tahun lalu. Adapun dari data Badan Pusat Statistik, dapat diperkirakan pendapatan perkapita penduduk di kota Rp 957.425 per kapita per bulan pada tahun ini. Jika Tunjangan Hari Raya (THR) senilai satu kali gaji digunakan untuk mudik, dapat diperkirakan sepanjang lebaran 2020 seharusnya minimal Rp 3,4 triliun masuk desa dalam waktu singkat.
Namun, kini ada fenomena kejadian luar biasa berupa pandemi Covid-19. Ini bisa membuyarkan berbagai aspek positif mudik beralih menjadi bencana pandemik masuk desa, dalam waktu yang singkat pula. Karena itu, Kementerian Desa PDTT memandang perlu menggali sudut pandang kepala desa sebagai opinion leader yang sangat penting di desa terhadap mudik tahun 2020. Maka pada 10-12 April 2020 diselenggarakan polling kepada kepala desa ini. Maksudnya, agar lebih mudah dipahami peluang kesiapan desa menghadapi kemungkinan migrasi warganya dalam 1-2 bulan mendatang.
Polling menunjukkan nilai hampir mutlak, yaitu 89,75 persen, di antara kepala desa yang tidak setuju warganya mudik pada saat ini. Opini ini mengalahkan 10,25 persen kepala desa lain yang masih setuju warganya mudik. Jika merujuk pada fakta ini, aspirasi kepala desa perlu didengar oleh warga yang sedang berada di kota, yaitu agar tidak mudik ke desa pada lebaran 2020.
Kesehatan adalah alasan utama penunjang opini kepala desa, baik untuk mudik atau tidak mudik. Walaupun demikian, alasan kesehatan hampir mutlak pada kepala desa yang tidak setuju mudik (88,38 persen), dibandingkan yang setuju mudik (70,72 persen).
Dasar alasan kesehatan menunjukkan kepala desa berperilaku rasional. Maka, penyajian informasi ilmiah atas aspek-aspek kesehatan dalam pandemik Covid-19 menjadi sangat penting. Jangan menggunakan landasan yang tidak ilmiah sebagai latar belakang kesehatan untuk mudik atau membatalkannya.
Alasan sosial (45,51 persen) dan ekonomi (43,18 persen) menjadi prioritas kedua yang penting bagi kades yang setuju mudik. Dengan proporsi alasan kesehatan yang juga lebih rendah di atas, tampaknya kepala desa kategori ini masih terpaut kebiasaan mudik sebelumnya.
Bagi kedua kategori kepala desa, keamanan, apalagi politik, tidak dilirik untuk beropini mudik atau tidak mudik.
Alasan-alasan kepala desa itu berkonsekuensibagi kebijakan. Pertama, berbagai aspek kesehatan harus menjadi argumen utama, terutama merujuk opini tidak mudik sebagai opini mayoritas kepala desa. Kedua, jika kebijakan tidak-mudikhendak dikuatkan, sekaligus diperlukan kontra argumen sosial (seperti adat mudik) dan kontra argumen ekonomi (seperti pendapatan menurun di kota). Contohnya, keluarga masih bertatap muka lewat telematika, dan berkirim surat, agar tetap bisa kopi darat seusai pandemi. Sekarang hidup prihatin, tapi dengan berjauhan akan memutus pandemi, sehingga kelak pendapatan normal kembali.
Polling kemudian mendalami opini kepala desa yang tidak setuju mudik. Ternyata muncul pendapat yang berimbang antara pilihan kebijakan berupa himbauan agar tidak mudik (49,86 persen) atau larangan mudik (50,14 persen). Opini fifty-fifty ini mencuatkan keraguan efektivitas dua jenis kebijakan itu bagi kepala desa yang tidak setuju mudik. Keraguan inilah yang harus segera diisi dengan keputusan lebih tegas dari pimpinan pada level lebih tinggi.
Opini fifty-fifty itu jika hendak diterapkan apa adanya, akan menghasilkan alternatif format kebijakan yang mengandung sekaligus larangan dan himbauan untuk tidak mudik. Pertama, mudik dilarang, dan kehidupan migran di kota harus didukung pemerintah kota. Kedua, yang terpaksa mudik harus memiliki alasan kuat karena dari sisi kesehatan membahayakan desa, dan di desa harus melapor ke Relawan Desa Lawan Covid-19. Relawan ini dibentuk sebagai konsekuensi Surat Edaran Menteri Desa PDTT No 11/2020 yang terbit 24 Maret 2020. Pada saat ini ada lebih dari 550 ribu relawan di 4.500-an desa di seluruh Indonesia. Jumlahnya cenderung meningkat dari hari ke hari.
Di sinipun, kesehatan masih mencuat sebagai alasan hampir mutlak bagi seluruh kepala desa (88,92 persen) pada pendukung larangan, dan 86,24 persen pada pendukung himbauan). Pendukung himbauan untuk mudik selanjutnya mengemukakan alasan ekonomi (33,54 persen), kemudian diikuti sosial (19.95 persen) dan keamanan (21.32 persen). Adapun pendukung larangan mudik selain didasarkan alasan kesehatan, juga alasan sosial (24,59 persen), lalu diikuti ekonomi (16,28 persen) dan keamanan (16,79 persen).
Berbagai konfigurasi landasan argumen itu menunjukkan alternatif kebijakan perlu berlandaskan alasan kesehatan yang sekaligus ditautkan dengan alasan sosial, ekonomi, dan keamanan. Contohnya: tidak mudik untuk mencegah penyebaran Covid-19, sebagai rasa sayang kepada anggota keluarga agar tidak terkena wabah, lagipula pemerintah menjamin kebutuhan dasar dan keamanan di kota.
Dalam polling ini, latar belakang desa-desa yang dipimpin para kepala desa itu turut dikaji. Ternyata, kepala desa yang dengan kategori opini “setuju mudik”, maupun kategori opini “tidak setuju mudik”, memiliki kondisi desa yang serupa. Keserupaaan itu mencakup aspek status perkembangan desa, demografi, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, akses telematika, jalur logistik ke desa, lembaga finansial, mata pencaharian utama warga, keragaman agama, keragaman etnis dan keberadaan lembaga adat.
Kondisi desanya serupa, tapi menghasilkan opini kades yang berbeda. Artinya, aman untuk menyatakan, bahwa opini kepala desa atas mudik tahun ini terutama didasarkan pada argumen-argumen rasional ketimbang primordial atau tradisi. Ini menginformasikan, seharusnya rasio atau ilmu pengetahuan menjadi dasar penyusunan kebijakan mudik (atau batal mudik) tahun ini. Sebaiknya argumen ilmiah kesehatan lebih dikemukakan daripada jenis argumen lainnya, karena itulah dasar pembentuk opini kepala desa.
Polling ini mempraktikkan metode kuantitatif berupa survai, dengan sampel diambil secara acak terstratifikasi. Populasi didefinisikan sebagai desa dengan penduduk mayoritas beragama Islam. Populasi ini didasari kenyataan, bahwa mudik berlangsung setelah umat muslim menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadlan. Sesuai data Kor Potensi Desa 2019 dari Badan Pusat Statistik, terdapat 53.808 desa dengan mayoritas warga beragama Islam.
Selanjutnya pada tiap provinsi diambil sampel desa secara random atau acak. Pengacakan dilakukan dengan program komputer MS Excel. Adapun jumlah sampel desa per provinsi disesuaikan dengan proporsi jumlah PDP Covid-19 per 9 April 2020 pukul 15.00 WIB yang hanya berselang sehari sebelum data lapangan diambil. Ini didasari bahwa peluang argumen mudik atau tidak mudik paling besar dipengaruhi pandemi Covid-19.
Dari lapangan terambil sampel 3.931 kepala desa pada di 31 provinsi di Indonesia. Margin error polling kali ini ialah 1,31 persen. Polling diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD) dan Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan, dan Informasi (Balilatfo), Kementerian Desa PDTT. Ini dikerjakan sebagai bagian dari pendampingan desa di seluruh Indonesia.