REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kondisi bank umum kegiatan usaha (BUKU) I dan II diperkirakan mengalami kenaikan risiko kredit yang dapat menggerus modal. Hal ini akibat penyebaran virus corona di Indonesia.
Pengamat Perbankan Paul Sutaryono mengatakan bagi bank kecil sangat tertekan karena dengan proses restrukturisasi kredit bagi debitur terdampak virus corona dapat meningkatkan rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) yang berujung menggerus modal.
“Kenaikan NPL bisa mendorong kenaikan cadangan, ujungnya modal juga bisa tertekan. BUKU III dan IV masih mampu karena modal lebih perkasa. Hal itu menjadi tantangan serius,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Selasa (21/4).
Menurutnya sektor rill terganggu dari wabah virus corona, sehingga membuat arus kas atau cashflow terganggu. Meskipun sudah diresktrukturisasi dan bisa diberi relaksasi maksimal setahun, ketika virus corona berakhir maka kembali meningkatkan rasio kredit bermasalah.
“Hal ini akan mewajibkan kepada bank berupa angsuran bulanan akan kurang lancar. Bank sudah benar mulai memberikan restrukturisasi kredit, namun bila restrukturisasi kredit itu tidak berhasil dilakukan debitur maka kenaikan NPL bisa menjadi kenyataan,” jelasnya.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga Februari 2020 rasio kecukupan modal (CAR) industri perbankan masih sebesar 22,42 persen, posisi tersebut menurun dari CAR Januari yang berada level 22,83 persen. Kemudian, NPL gross perbankan sebesar 2,79 persen pada Februari, naik dari posisi Januari sebesar 2,77 persen, sedangkan NPL net sebesar satu persen per Februari, menurun dari Januari sebesar 1,04 persen.
Kendati demikian, menurutnya saat ini kondisi perbankan nasional masih cukup kuat untuk bertahan saat pandemi virus corona. Hal ini tercermin dari rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) sebesar 22,42 persen.
“Saat ini perbankan nasional memamg masih kuat. Tetapi saya prediksi NPL akan naik, salah satunya karena banyak sektor industri mulai terpapar risiko virus corona,” ucapnya.