REPUBLIKA.CO.ID, SUKABUMI -- Palang Merah Indonesia (PMI) memberi edukasi agar tidak terjadi lagi penolakan jenazah yang dimakamkan dengan standar Covid-19 oleh masyarakat seperti yang terjadi di beberapa daerah. Hal itu terjadi akibat ketidakpahaman dan kekhawatiran yang berlebih.
"Sikap yang didasari ketakutan akan penularan virus dari jenazah ini dinilai berlebihan. Padahal informasi terkait prosedur ketat pengurusan jenazah terduga atau positif Covid-19 telah beredar luas," kata Kepala Sub Divisi Kesehatan Darurat PMI Pusat Istianasari melalui sambungan telepon, Jumat (24/4).
Menurutnya, serangkaian prosedur pengurusan serta pemakaman jenazah dilakukan untuk memastikan keamanan petugas dan masyarakat sekitar. Semestinya, penolakan tak terjadi bila masyarakat mengetahui prosedur yang sudah banyak dijelaskan oleh para ahli.
Beberapa organisasi maupun lembaga pemerintah kerap memberikan sosialisasi agar tidak terjadi penolakan terhadap jenazah yang akan dimakamkan. Namun karena masyarakat tidak tahu dan takut akan tertular, sehingga terjadi penolakan padahal dalam prosesi pengurusan jenazah sudah diterapkan prosedur khusus.
Dalam pengurusan jenazah pasien Covid-19, petugas khusus telah membungkus jenazah dengan bahan yang kedap air. Kemudian penguburan ini juga menggunakan peti khusus.
Selain itu, lokasi penguburan harus berjarak setidaknya 50 meter dari sumber air tanah yang digunakan untuk minum dan 500 meter dari permukiman terdekat. Dalam hal keamanan, alat pelindung diri (APD) wajib digunakan petugas pengantar jenazah dari rumah sakit.
Hal itu dilakukan lantaran petugas berangkat dari rumah sakit yang merawat jenazah pasien. Berbeda dengan petugas kubur yang cukup menggunakan masker, bot, baju hazmat atau jas hujan sebagai pengganti.
"Lokasi pemakaman jenazah positif Covid-19 juga bisa dikuburkan di tempat pemakaman umum (TPU), namun untuk wilayah yang padat penduduk pemerintah daerah harus menyiapkan areal khusus," tambahnya.
Isti mengatakan penolakan masyarakat terhadap jenazah diharapkan tidak terjadi lagi seiring masifnya informasi terkait protokol tersebut. Tokoh masyarakat sebagai pengayom mesti hadir mengedukasi warganya jangan sampai malah menjadi memimpin penolakan.*