Oleh Zulfikri Anas (Yayasan Perguruan Al Iman, Citayam, Bogor)
REPUBLIKA.CO.ID, Setiap peristiwa yang terjadi, besar atau kecil, tidak ada yang keluar dari ketentuan Sunnatullah, semua adalah ayat-ayat untuk menyampaikan pesan hidayah bagi manusia sebagai makhluk yang berakal, berpikiran jernih dan berhati mulia.
Kejernihan pikiran, kedalaman pemahaman, kebeningan hati, kepekaan rasa, pengendalian emosi, dan segala potensi unik yang ada dalam diri setiap pribadi manusia adalah sebagian dari sekian banyaknya hikmah yang kita dapatkan dari sebuah peristiwa, apalagi peristiwa sedahsyat seperti pandemi covid 19 yang sedang melanda dunia saat ini.
Pepatah kuno dari nenek moyang kita menyatakan bahwa "nakhoda yang tangguh tidak lahir dari laut yang tenang". Semua peristiwa hadir adalah jalan untuk meningkatkan derajat manusia, karena semakin dahsyat sebuah peristiwa yang terjadi, semakin banyak ilmu yang kita dapatkan, semakin dalam hikmah yang kita peroleh, semua itu menjadi bukti bahwa kita memang hadir sebagai kalifah di muka bumi, penyelamat kehidupan, penyelesai masalah, dan makhluk yang paling bijak.
Di sinilah pentingnya dunia pendidikan, menguatkan pola pikir, mengasah nurani, menata emosi, dan menghilangkan segala bentuk arogansi yang mungkin selama ini tumbuh subur dalam diri seseorang sebagai akibat sampingan dari sebuah kesuksesan. Keberhasilan demi keberhasilan yang kita peroleh, justeru seringkali memicu lahirnya sifat-sifat zalim, seperti ria, arogan, serakah, dan ingin menguasai semua yang dianggap menguntungkan, bermain-main dengan kekuasaan.
Pendidikan adalah upaya sadar dan terencana untuk menyelamatkan manusia dari segala bentuk marabahaya di sepanjang kehidupan setiap individu manusia, di dunia, dan akhirat --apapun kedudukan dan profesinya--, termasuk terhindarnya manusia dari kepanikan, keserakahan, dan kezaliman dalam menghadapi situasi genting seperti wabah yang terjadi saat ini.
Kita tidak tahu persis, wabah-wabah apalagi yang akan terjadi setelah ini, bisa jadi lebih dahsyat seiring dengan meningkatnya kemampuan manusia --bagi orang-orang yang berpikir-- dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah. Dunia pendidikan harus mampu mengantisipasi hal itu.
"Lock-down Otomatis"
Ketika awal-awal pandemi ini mewabah, WHO menyarakan kita untuk lock-down, namun membuatkan keputusan untuk itu sangat alot karena berbagai pertimbangan, baik dari akademisi maupun kalangan masyarakat umum.
Hampir semua pihak mengkhawatirkan persoalan ekonomi jangka pendek, "kalau terjadi lock-down, walaupun hanya selama dua minggu, maka banyak orang yang terancam bahaya kelaparan, pengangguran akan meningkat, sektor-sektor bisnis dan paraiwisata akan ambruk, buat apa kita didikte oleh WHO atau negara lain, kita punya kedaulatan yang kuat, kita tidak perlu lock-down".
Demikian kesimpulan dari berbagai pandangan, dan hal ini pula yang menjadi pertimbangan sehingga membuat pemerintah terkesan lamban dalam mengambil keputusan.
Kelambanan itu berbuntut panjang sebagaimana yang kita rasakan saat ini. Apabila masa-masa awal terdeteksinya ada warga negara yang terinfeksi, kita benar-benar mengambil keputusan dengan pikiran jernih, tenang, dan dengan hati yang bersih dari sifat arogan, bersih dari segala bentuk pamrih, maka melalui lock-down total selama dua minggu mungkin kita mampu melokalisir dan memutus mata rantai penyebaran virus ini.
Dengan demikian, kita bisa dengan tenang menhadapi situasi dan masyarakat tidak perlu panik dan khawatir akan kelaparan, pemerintah melalui jajarannya sampai ke RT/RW akan dengan mudah mendata dan mendistribusikan bantuan kepada orang-orang yang benar-benar membutuhkan di lingkungan masing-masing. Bila itu dijalankan secara konsisten, dan disiplin, dan penuh tanggung jawab, mungkin kejadiannya tidak berkepanjangn seperti saat ini.
Di sinilah pentingnya pendidikan untuk menghasilkan orang-orang amanah, cerdas, tawakal, dan cepat serta tepat mengambil keputusan. Dalam situasi seperti ini, kekuatan dan keberhasilan dunia pendidikan selama ini diuji, seberapa cerdas dan tangguh, serta seberapa tawakalnya para alumni pendidikan dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan yang rumit.
Ketawakalan sebagai orang-orang terdidik menjadi kunci penyelamatan bangsa saat ini, ketawakalan dalam menghadapi situasi genting inilah yang harus terus disuarakan kepada seluruh masyarakat agar setiap orang menjadi kuat, tegar, dan tidak panik dalam menghadapi situasi. Masyarakat tidak perlu khawatir berlebihan, tiadk perlu membabi-buta pulang kampung untuk menyelamatkan diri. Apabila pulang kampung menjadi solusi, buat apa merantau selama ini, toh tidak mampu membantu untuk mengatasi kondisi di masa darurat.
Dalam situasi ini, ujian atau tantangan yang terjadi seharusnya menjadi peluang bagi para pendidik (guru, ustadz, dan para pemuka agama lainnya) bahwa keberadaan mereka mampu menenangkan dan membebaskan setiap orang dari kepanikan dan kekhawatiran yang berlebihan.
Namun, ironisnya, situasi ini justeru membuat mereka menjadi tak berdaya karena mereka kehilangan wahana akibat kebijakan pembatasan jarak dan larangan berkumpul. Tanpa disadari, dunia pendidikan yang dikelola masyarakat, mengalami lock-down otomatis sebagai dampak dari penanganan pandemi yang berkepanjangan. Akibat berlarut-larutnya persoalan ini, para ustadz, pendidik, dan tenaga kependidikan swasta terkena dampak yang luar biasa, keluarga mereka terancam kelaparan. Hal ini berpotensi menjadi benacana nasional. Siapa yang peduli?.
Musibah Pandemi Covid-19 yang berkepanjangan ini, mengakibatkan menurunnya ketahanan ekonomi masyarakat. sehingga sejak bulan maret 2020 di sebagian besar sekolah lebih dari 60% orang tua murid tidak mampu membayar SPP, dan prosentasi ini terus naik sampai bulan ini.
Asosiasi Yayasan Pendidikan Islam (AYPI), mengungkapkan dalam press release baru-baru ini, data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, jumlah sekolah SD 148.673 (88,89% Negeri & 11,31% Swasta), SMP 39.637 (59,00% Negeri & 41,00% Swasta), SMA 13.692 (49,77% Negeri & 50,23% Swasta) dan SMK 14.064 (25,44% Negeri & 74,56% Swasta). Data Statistik dari Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, jumlah sekolah RA 29.842 (100% swasta), MI 25593 (6.68% Negeri & 93.32% Swasta), MTs 18176 (8.25% Negeri & 91.75% Swasta) dan MA 8.807 (9.11% Negeri & 90.89% Swasta) (sumber: Badan Pusat Statistik).
Data tersebut menunjukkan bahwa, di dunia pendidikan formalpun begitu besarnya jumlah pendidik dan tenaga pendidikan yang kehidupannya bergantung kepada iyuran SPP orang tua murid. Untuk itu, demi mencegah dampak jangka panjang terhadap keberlangsungan pendidikan anak-anak bangsa, dan agar masyarakat juga terbebas dari kepanikan dalam menghadapi persoalan ini, pemerintah perlu hadir.
Pengalaman menunjukkan bahwa lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola oleh masyarakat telah berjasa dalam mengatasi keterbatasan pemerintah menyediakan akses pendidikan kepada masyarakat. Lembaga-lembaga tersebut menerima apa adanya, sisa-sisa hasil seleksi sekolah negeri. Seharusnya masuk sekolah swasta yang diseleksi, bukan sebaliknya, hal ini mengingat semua biaya pendidikan di sekolah negeri bersumber dari uang rakyat.
Kita tahu, pemerintah begitu khawatir dengan ambruknya ekonomi di sektor pariwisata dan sektor ekonomi non-formal lainnya, tentunya kekhawatiran yang sama seharusnya juga berlaku bagi para pendidik dan tenaga pendidik swasta yang terkena dampak serius dari pendemi ini . Di sinilah kesungguhan, kepedulian, keadilan, dan kepercayaan masyarakat terhadap amanah yang diberikan kepada pemimpin dan aparat pemerintah diuji. Kita berharap, dalam situasi seperti ini, saudara-saudara kita ini tetap dapat menjalankan tugas-tugas pentingnya dalam meningkatkan ketawakalan, menenangkan dan membebaskan masyarakat dari kepanikan.