REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nama lengkapnya, Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkas bin Auzalagh. ia lahir pada 870 Masehi di Utrar, wilayah yang kini menjadi bagian negara Uzbekistan. Kota tersebut bernama lain Farab. Oleh karena itu, tokoh ini digelari demikian: al-Farabi.
Banyak pakar ilmu politik modern menilai, pemikiran al-Farabi menunjukkan pengaruh gagasan para filsuf Yunani Kuno, semisal Plato atau Aristoteles. Al-Farabi berpandangan, tatanan masyarakat bertujuan menghasilkan kebahagiaan bagi tiap warga. Bahagia tak hanya di dunia, melainkan juga akhirat kelak.
Karya-karya al-Farabi terkait dengan ilmu politik ialah As-Siyasah al-Madaniyah dan Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah. Menurut dia, ada dua kualitas yang bertolak-belakang satu sama lain dalam menata masyarakat. Yakni, negara utama (al-madinah al-fadhilah) dan yang bukan utama.
Sifat utama ("negara utama") dapat dilekatkan pada suatu negara bila di dalamnya masyarakat hidup rukun. Seluruh penduduk "negara utama" dapat saling bekerja sama, bahu-membahu, dan bergotong-royong dalam kebajikan.
Tiap warga bagaikan satu bagian tubuh. Apabila satu terluka, maka sakitnya dirasakan seluruh badan--yakni seluruh elemen, mulai dari pucuk pemerintahan hingga rakyat jelata.
Tentu saja, tiap bagian memiliki fungsi yang berlainan. Tugas seorang pemimpin tak mungkin sama dengan rakyat biasa. Begitu pula kewajiban rakyat tak melulu dibebankan kepada pemerintah.
Bagaimanapun, lanjut al-Farabi, perbedaan tak menjadi halangan bagi terwujudnya saling bekerja sama antarwarga negara. Justru, kolaborasi itulah yang membuat mereka berfungsi dengan baik.
Peran kepala negara sangat penting. Sebab, dialah yang mengarahkan tiap elemen masyarakat agar dapat mencapai tujuan berbahagia. Seorang kepala negara, dalam pemikiran al-Farabi, harus memiliki kapasitas intelektual yang di atas rata-rata. Dalam hal ini, gagasan ilmuwan Muslim yang wafat pada 950 Masehi itu tampak terinspirasi dari negara ideal menurut Plato.