REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: DR M Alfan Alfian, M. Alfan Alfian, Esais, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, dan Pengurus Pusat HIPIIS.
Tentu banyak unsur sehingga Didi Kempot dijuluki sebagai Lord Didi dan lebih dari itu “The Godfather of Broken Heart”. Yang jelas, dia diuntungkan sosial media. Sehingga pemanggungannya kembali menjadi heboh. Wawancaranya dalam suatu acara di televisi, berikut repostasenya di suratkabar nasional, menambah bobot repopularisasinya.
Lagu-lagunya banyak bertema romantika percintaan, patah hati, di tinggal pergi tanpa kabar dari sang kekasih, dan sebagainya. Singkatnya, banyak lagu-lagunya yang bernada nelangsa. Terenyuh. Dan, barangkali membangkitkan pembelaan bagi yang diingkari janjinya.
“Netes luh neng pipiku,” ialah gambaran betapa orang sering tanpa terasa meneteskan air mata di pipinya, ketika terlanda masalah krusial itu: percintaan yang tak sampai. Dan dalam hal ini, Lord Didi mengingatkan kita melalui lagu-lagunya, banyak kisah roman Indonesia, yang bisa kita tarik tradisinya sejak masa Balai Pustaka.
Apakah Anda, meneteskan luh, air mata, di pipi setelah membaca roman-roman Buya HAMKA, Pramoedya Ananta Toer, atau yang lain? Masalahnya mungkin bukan luh yang menetes, tetapi kebiasaan membaca kita yang tekor.
Nuansa menjatuhkan 'luh' di pipi itu, memang mendominasi di lagu-lagu Lord Didi. Kendati, kita menyadari bahwa eksploitasi kesedihan atas kegagalan percintaan itu, sangat lazim dan paling mengemuka dalam hampir semua lagu siapapun, di manapun, dan dengan bahasa apapun.
Kita batasi pembahasannya dari subkultur Jawa, Solo-Yogya dan sekitarnya. Sama dengan di banyak tempat di Jawa, di Indonesia, tempat itu ialah agraris. Kulturnya agraris.
Fachry Ali pernah mengulas bahwa salah satu ciri utama kultur agraris itu ialah menunggu. Kultur menunggu, ialah hal yang dikaitkan dengan panjangnya masa, sejak tanaman padi ditancapkan hingga panennnya.
Menunggu, bukan berarti tidak bekerja. Pada masa tanaman petani menghijau dan butuh waktu untuk berubah menjadi kuning, yang ada ialah kontrol dan pasrah. Mereka bekerja untuk mengecek, memastikan, mengontrol apakah tanamannya tumbuh tak terganggu hama, kekurangan air, dan hal-hal lain yang berimbas ke gagal panen. Selebuhnya ialah kepasrahan.
Jadi kultur agraris, kultur menunggu itu ialah gerak antara ikhtiar dan tawakal. Dan, di antara itu, kesabaran. Begitulah bahasa sufismenya.
Kultur menunggu itulah yang mempengaruhi bagaimana romatisisme Jawa tercipta. Direfleksikan ke dalam janji seseorang dengan kekasihnya, maka ketika yang satu pergi, yang lain menunggu, dalam masa menunggu dan dengan jarak yang memisahkan dan tanpa kejelasan, romatisme tercipta.
Itulah “Stasiun Balapan”, ketika sang kekasih katanya sekadar “lungo mung sedhelo”, pergi hanya sebentar. Tapi, ternyata kepergiannya “tanpa kirim warto”, tak ada kejelasan beritanya.
Masalahnya tambah “nggrentes”, terlunta-lunta, dalam “Sewu Kutho”. Lagu ini diadaptasi dari karya Ari Wibowo yang pernah kondang versi bahasa Indonesia, jauh sebelum dipopulerkan Didi Kempot dalam bahasa Jawa. Bahwa, ketika yang ditinggal memutuskan untuk mencari kekasihnya yang hilang, padahal “sewu kutho uwis tak liwati”, maka pekerjaan absurd itu, seolah bagian integral dari jiwa romatis.