REPUBLIKA.CO.ID, QUITO -- Ekuador pada Senin (4/5) melaporkan kasus positif COVID-19 telah melampaui angka 30.000. Walaupun demikian, pemerintah masih berupaya melonggarkan aturan karantina secara bertahap sejak pertengahan Maret.
Negara di wilayah Amerika Selatan itu mencatat 31.881 orang positif tertular COVID-19, penyakit yang disebabkan jenis baru virus corona (SARS-CoV-2). Dari jumlah itu, 1.569 orang meninggal dunia dan 1.336 kasus kematian lainnya dinilai disebabkan oleh penyakit tersebut.
Sejauh ini, otoritas setempat telah memeriksa 80.171 orang, baik melalui pengecekan antibodi (rapid test) dan uji swab tenggorokan yang menggunakan metode polymer chain reaction (PCR). Pemerintah sempat mengingatkan jumlah korban tewas akibat COVID-19 kemungkinan lebih tinggi daripada laporan resmi, khususnya di Guayaquil, kota terbesar di Ekuador yang jadi pusat penyebaran wabah.
Di Guayaquil, banyak jasad ditinggalkan di rumah atau dibiarkan terbaring di jalan selama beberapa jam. Pasalnya, warga terpaksa diam di rumah akibat kebijakan karantina wilayah.
Presiden Lenin Moreno pada pekan lalu mengatakan, jumlah penularan baru cukup stabil dan tingkat kematian menurun setelah wabah COVID-19 sempat membuat sistem kesehatan di Guayaquil lumpuh dan membuat perekonomian terpuruk. Setelah satu bulan karantina wilayah diberlakukan untuk menekan penyebaran penyakit, pemerintah mengatakan pihaknya akan mengizinkan sektor usaha kembali beroperasi melalui telepon dan Internet untuk layanan pesan antar ke rumah.
Otoritas setempat juga memperpanjang jam operasional taksi di Ekuador. Dana Moneter Internasional pada Sabtu (2/5) mengumumkan pihaknya telah menyetujui pinjaman dana darurat senilai 643 dolar Amerika Serikat untuk Ekuador.
IMF menyebut pandemi COVID-19 berdampak parah terhadap perekonomian dunia sebagaimana terlihat dari jatuhnya harga minyak. Meskipun ada beberapa kelonggaran, pemerintah masih memberlakukan jam malam selama 15 jam, menutup perbatasan dan menghentikan layanan transportasi umum.