SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM- Gelontoran bantuan dari pemerintah untuk mengantisipasi dampak wabah corona belakangan ini, memang memicu pro kontra di kalangan bawah. Keterbatasan kuota, validitas data dan tingginya ekspektasi warga untuk berharap jadi penerima, menjadi dilema tersendiri bagi desa dan punggawanya.
Namun di saat geger genjik warga di beberapa daerah memprotes data dan merasa layak menerima bantuan, sebuah fenomena menarik muncul di Desa Bedoro, Kecamatan Sambungmacan, Sragen.
Di desa ini, justru ada sembilan warga atau kepala keluarga yang memilih mundur dari calon penerima bantuan langsung tunai (BLT) dana desa untuk warga terdampak corona. Mereka memilih mundur lantaran merasa malu karena sudah tidak pantas lagi menerima.
Selain itu, kesediaan mereka mundur juga karena menilai ada warga lain yang lebih pantas menerima. Jiwa besar mereka ditunjukkan saat rapat pembahasan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) dan Program Kesejahteraan Keluarga (PKH) yang digelar di balai desa, kemarin.
Dalam rapat itu, semua Ketua RT dan warga yang terdata diundang semua untuk dilakukan validasi dan verifikasi. Saat namanya dibacakan sebagai calon penerima, sembilan warga itu secara mengejutkan mendadak meminta namanya dicoret dari daftar.
"Alasannya karena merasa sudah mampu dan malu rumahnya dipasangi stiker lagi. Mereka secara ikhlas minta namanya dicoret dan mundur dari daftar penerima. Lalu mereka membuat surat pernyataan pengunduran diri," papar Kades Bedoro, Prihartono, kepada Joglosemarnews.com, Kamis (7/5/2020).
Ia mengaku salut dan terkesan dengan sikap legawa sembilan warganya itu. Ia juga kaget dengan kebesaran jiwa mereka yang rela mundur karena merasa tidak pantas lagi menerima bantuan. Padahal dari sembilan warga itu, ada sebagian yang hanya berprofesi jualan pecel.
Bahkan ada satu warga yakni Sumarno alias No Iko warga Pucang RT 22 yang secara fisik menyandang disabilitas. "Kalau No Iko itu sebenarnya penyandang disabilitas. Kedua tangannya tidak sempurna tapi dia gigih merintis usaha beton lewat KUBE. Sehingga sedikit ada perubahan kondisi dan kami salut ketika kemarin di rapat istrinya dengan ikhlas meminta dia dicoret dari daftar warga penerima bantuan," terang Prihartono.
Sementara tujuh warga lain yang mundur, rata-rata merantau dan kemudian sudah ada perbaikan ekonomi. Namun di luar mereka, Kades mengakui jika masih ada yang sebenarnya ekonomi lebih di atas tapi masih enjoy masih masuk daftar penerima bantuan.
"Dari desa juga tidak bisa memaksa mencoret atau menyuruh mundur. Karena pengunduran diri itu harus dari pribadi mereka tanpa paksaan dan didukung surat pernyataan. Tapi nanti mungkin akan dibahas rapat lagi, bagaimana mitathi (menyisir) warga yang sebenarnya sudah mampu tapi masih masuk data. Karena datanya itu dulu kan langsung dari pusat," terang Prihartono.
Kades merinci sembilan warga yang mundur itu adalah Suparmi warga Bedoro RT 20, Dwi Handayani Bedoro RT 19, Lilis Mulyani Bedoro RT 17, Sarmi Tunjungan RT 2, Sukini Bedoro RT 20, Rebi Bero RT 9, Sumarno alias No Iko atau Sri Wahyuni Pucang RT 22, Siti Marfoah Bero RT 10, dan Surati Bero RT 11.
Kades menambahkan validasi dan rapat dengan mengundang semua warga terdata disaksikan Ketua RT itu sebagai langkah transparansi terkait data warga yang diproyeksikan untuk masuk data kemiskinan dan layak menerima bantuan. "Alhamdulillah waktu kami bacakan satu persatu, ada yang sadar dan merasa tidak layak serta memilih mundur," tukasnya.
Ia menambahkan total warga di desanya yang masuk DTKS ada 626 orang. Sedangkan yang menerima PKH ada 229 orang. Dengan mundur sembilan, maka warga yang masuk DTKS tinggal 617 orang. Karena sudah membuat surat pernyataan, sehingga kartu PKH mereka ditarik dan nantinya dilaporkan ke petugas PKH untuk selanjutnya diproses pencoretan mereka dari daftar.
"Kita memang teliti dan validasi data satu persatu. Agar nantinya tidak ada gesekan di bawah ketika ada program bantuan untuk warga tidak mampu. Alhamdulillah di sini kondusif dan kemarin sudah disetujui Ketua-Ketua RT," tukasnya. Ya, sikap besar 9 warga di Bedoro itu setidaknya bisa menjadi pembelajaran bagi semua warga yang merasa sudah mampu, agar tidak terlalu memaksakan diri merasa masih layak mendapat bantuan.