REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA
Minimal kita mengenal dua macam istilah shalat malam. Pertama, “Qiyamul Lail” yang berarti shalat sunah Tahajud. Allah SWT berfirman, “Dan pada sebagian malam, lakukanlah salat Tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS. al-Israa/17: 79).
Kedua, “Qiyamur-Ramadhan” yang berarti shalat sunah Tarawih. Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang melakukan Qiyamur-Ramadhan dengan penuh keimanan dan seraya melakukannya dengan mencari ridha Allah (ikhlas), maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lampau.” (HR. Bukhari-Muslim).
Di luar dua macam shalat malam itu, Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menambah untuk kalian satu shalat, maka jagalah shalat tersebut. Itu adalah shalat Witir.” (HR. Ahmad). Dan menariknya, Nabi SAW berpesan, “Jadikanlah akhir shalat kalian di malam hari dengan Witir.” (KH Bukhari-Muslim).
Pada bulan Ramadhan, shalat Witir dilaksanakan sesudah shalat Tarawih. Kendati ada juga yang tidak melaksanakannya karena berencana akan shalat Tahajud. Dalilnya adalah sabda Nabi SAW, "Tidak ada dua witir dalam semalam.” (HR. Ahmad). Nah, bagaimana mengkompromikan hal ini agar tida timbul salah paham di tengah masyarakat?
Ada sabda Nabi SAW dapat menjadi solusi, yakni “Barangsiapa yang khawatir tidak bangun di akhir malam, maka witirlah di awalnya. Dan yang yakin akan bangun di akhir malam, maka witirlah di akhir malam. Karena shalat di akhir malam disaksikan (oleh para malaikat) dan itu lebih utama.” (HR. Muslim).
Dengan demikian waktu shalat Witir sangat panjang mulai awal malam hingga akhir malam. Nabi SAW bersabda, “…. Shalat itu adalah Witir, maka shalatlah di antara shalat Isya sampai shalat Fajar.” (HR. Ahmad). Masyarakat dapat memilih sendiri waktu pelaksanaan shalat Witir sesuai dengan kelonggaran masing-masing.
Namun, secara teknis, Nabi SAW mengajarkan, “Shalat malam (dilaksanakan) dua rakaat dua rakaat. Apabila salah seorang di antara kalian khawatir (keburu) Subuh, maka ia shalat satu rakaat sebagai witir bagi shalat yang telah dilaksanakannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Nabi SAW menegaskan, “Dan yang ingin berwitir satu rakaat, maka kerjakanlah.” (HR. Abu Daud).
Sementara itu yang dimaksud, “Shalat malam (dilaksanakan) dua rakaat dua rakaat” dalam hadits di atas adalah bagi shalat Witir yang dilaksanakan tiga rakaat agar dilaksanakan tidak seperti shalat Maghrib (dengan dua tahiyyat) dan sekali salam. Nabi SAW bersabda, “Janganlah berwitir dengan tiga rakaat menyerupai shalat Maghrib …”(HR. Hakim).
Maksudnya Nabi SAW menghendaki shalat Witir agar dipisah antara yang genap dengan yang ganjil. Ibnu Umar berkata, “Rasulullah SAW memisah antara yang ganjil dan genap dengan salam, dan beliau perdengarkan kepada kami.” (HR. Ahmad). Artinya berdasar hadits ini, Nabi SAW shalat Witir tiga rakaat dengan dua kali salam.
Namun boleh shalat Witir dengan sekali salam seperti hadits dari Ubay bin Ka’ab yang berkata, “Sesungguhnya Nabi biasa membaca dalam shalat witir, “Sabbihis Marabbikal A’la (di rakaat pertama). Lalu di rakaat kedua, “Qul Yaa Ayyuhal Kafirun”. Pada rakaat ketiga, Qul Huwallahu Ahad”, dan Nabi SAW tidak salam kecuali di rakaat terakhir.” (HR. Nasa’i).