REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aspek yang tak lepas dari diri khalifah Umar bin Khattab adalah masalah ijtihad berkaitan dengan berbagai persoalan hidup dan perkembangan zaman yang tak ada nashnya baik dalam Alquran maupun hadits. Salah satu ijtihad yang dilakukan Umar adalah soal penghimpunan Alquran dalam satu mushaf.
Ketika itu kekhalifahan dipegang sahabat Abu Bakar Ash Shiddiq, sedang Umar salah satu pembantunya di pemerintahan. Argumentasi Umar adalah banyaknya para sahabat yang hafal Alquran mati syahid dalam berbagai pertempuran.
Ia khawatir dengan banyaknya huffadz (penghafal Alquran) yang meninggal, akan banyak ayat Alquran yang hilang. Kepada Umar, Khalifah Abu Bakar berkata, "Bagaimana saya akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW?" Dialog panjang pun tak terelakkan.
Singkatnya, sang khalifah pun akhirnya menyetujui gagasan Umar, setelah khalifah merasa yakin atas ide positif Umar itu. Maka diputuskanlah Zaid bin Tsabit sebagai ketua tim pelaksana penghimpunan Alquran. Selain cerdas, amanah, dan jujur, Zaid juga dikenal sangat dekat dengan Rasulullah ketika masih hidup, sekaligus pencatat wahyu Nabi SAW setiap kali turun.
Dasar itulah yang menjadikan Zaid dipilih para sahabat. Ijtihad juga dilakukan Umar berkaitan dengan masalah santunan terhadap kaum mualaf (orang yang baru masuk Islam dan belum kuat imannya). Allah menyitir hal ini, "Sedekah hanya untuk kaum kafir dan miskin, para amil, orang-orang yang disejukkan hatinya (mualaf) ... (QS, 9:60).
Demikian halnya Nabi menganjurkan hal tersebut. Alasan Nabi SAW antara lain, untuk menyejukkan hati dan memperkuat iman mereka. Tradisi demikian terus berlanjut hingga masa kekhalifahan Abu Bakar.
Sebelum meninggal, Abu Bakar sempat memberi surat kepada Uyainah bin Hisn dan Aqra' bin Habis yang datang kepadanya guna meminta sebidang tanah. Setelah Umar menjadi khalifah, kedua orang itu menghadap kepada Umar untuk mendapatkan haknya.
Diajukan surat demikian, Umar bukan saja merobeknya, tapi sekaligus menolak permintaan itu. "Allah sudah memperkuat Islam dan tidak memerlukan kalian. Kalian tetap dalam Islam atau hanya pedang yang ada," jelas Umar.
Golongan seperti inilah yang dulu pernah mendapat zakat, namun kini dihentikan dan mereka disamakan dengan kaum Muslimin lainnya. Di bidang hukum, ijtihad yang dilakukan Umar tak kalah besar pengaruhnya. Bahkan hingga kini masih dirujuk kalangan fuqaha (ahli fikih), yakni menolak melaksanakan hukuman karena keadaan darurat. Soal hukum ini sudah jelas dinyatakan dalam Alquran, misalnya masalah pembunuhan, zina, tuduhan palsu, dan perampokan. Firman Allah, ''... barang siapa tidak memutus perkara menurut apa yang diturunkan Allah, mereka itulah orang fasik." (QS 5:47).
Namun bagi Umar, hukum itu tak berlaku dan karenanya menghindari dengan catatan kondisi darurat, sebagaimana firman-Nya, "... jika dalam keadaan terpaksa bukan sengaja hendak melanggar atau mau melampaui batas, maka tidaklah ia berdosa. Allah Maha Pengampun, Maha Pengasih." (QS 2:173). Contoh dalam soal ini adalah, seorang perempuan yang mengadu kepada Umar telah kepayahan lantaran kehausan.
Ketika sedang melalui seorang gembala, ia meminta diberi minum, tapi gembala itu menolak kecuali jika mau menyerahkan kehormatannya. Semula, wanita itu menolak, tapi karena terpaksa, ia pun memberikannya.
Umar berunding dengan Ali guna menjatuhkan hukum rajam. Namun Ali berkata, "Ini keadaan terpaksa, saya berpendapat lepaskan saja wanita itu." Umar pun membebaskannya. Mengomentari sukses ijtihad Umar, Abu Yusuf, ulama di masa tabi'in, dalam kitabnya, Al Kharaaj, sebagaimana dikutip Muhammad Haekal dalam Al Faaruq Umar, mengatakan, "Merupakan keberhasilan yang diberikan Allah atas segala yang dilakukan Umar itulah yang terbaik yang telah diberikannya kepada kaum Muslimin."