Disponsori Australia dan Uni Eropa, Indonesia Dukung Penyelidikan Asal-Usul COVID-19
Sebanyak 116 negara kini mendukung upaya Australia dan Uni Eropa untuk menggelar penyelidikan independen terhadap wabah virus corona. Dukungan ini menguat menjelang pertemuan Majelis Kesehatan Dunia (WHA) hari Senin (18/05) di Jenewa.
Mosi Penyelidikan COVID-19:
- Australia dan Uni Eropa menyusun mosi untuk melakukan penyelidikan terhadap asal-usul penyebaran wabah virus corona yang akan diajukan hari Senin (18/05) di Jenewa
- Sebanyak 62 negara telah menyatakan dukungannya, namun tidak termasuk Amerika Serikat yang ingin lebih keras menekan China
- Sejak Australia mempelopori penyelidikan ini, hubungannya dengan China kian memanas dan melebar ke masalah dagang
Australia merupakan negara pertama yang mendorong perlunya penyelidikan independen mengenai bagaimana virus corona muncul pertama kalinya.
Langkah ini dikecam oleh China yang menuduh Australia melancarkan serangan politik terhadap mereka. Namun dukungan internasional terus bertambah.
Pemerintah PM Scott Morrison kini melebarkan langkah diplomatiknya di belakang Uni Eropa, yang juga mendesak perlunya penyelidikan namun mengambil jalur yang tidak konfrontatif dengan Beijing.
Negara-negara Eropa dan Australia menggalang dukungan bagi Mosi Uni Eropa yang menyerukan evaluasi "tidak memihak, independen dan komprehensif" dari "respon WHO terhadap COVID-19".
Menurut pemantauan ABC, hingga hari Senin waktu Canberra, tercatat sudah 116 negara termasuk Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Turki, Rusia, Afrika Selatan dan Inggris yang mendukung mosi ini.
Sebanyak 54 negara-negara Afrika turut menyatakan dukungannya, selain 27 negara Eropa.
Mosi tersebut tidak secara khusus menyebutkan China atau Wuhan yang diyakini menjadi lokasi awal penyebaran virus.
Tapi mosi menyebutkan bahwa WHO harus bekerja dengan Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan untuk melakukan misi ilmiah dan kolaboratif di lapangan serta mengidentifikasi sumber virus dan rute penyebarannya ke manusia, termasuk kemungkinan peran inang perantara.
Fokus capai konsensus
Sumber di kalangan Pemerintah Australia mengatakan bahasa yang digunakan dalam rancangan mosi ini sudah cukup keras dalam memastikan digelarnya penyelidikan menyeluruh. Namun diakui bahwa ini baru langkah pertama.
Pada tahap ini China maupun Amerika Serikat tidak mendukung mosi tersebut. Diplomat Uni Eropa dan Australia pada hari Minggu masih terus meyakinkan kedua negara ini.
Menlu Australia Marise Payne hari Senin menyatakan cukup senang dengan banyaknya negara yang mendukung penyelidikan ini.
"Saya kira hal ini menunjukkan pandangan umum di dunia mengenai perlunya menyelidiki apa yang terjadi, mengingat kematian yang mencapai 300 ribu lebih, jutaan orang kehilangan pekerjaan serta dampak ekonominya," katanya.
Sebelumnya ia juga menyatakan Australia dan banyak negara lainnya bersama-sama mensponsori resolusi Uni Eropa, yang mencakup perlunya evaluasi yang tidak memihak, independen dan komprehensif.
"Ini merupakan kolaborasi yang bertujuan membekali masyarakat dunia dalam mencegah atau memberantas pandemi berikutnya secara lebih baik," tambahnya.
Juru bicara Uni Eropa untuk urusan luar negeri, Virginie Battu-Henriksson, mengatakan pihaknya fokus untuk mencapai adanya konsensus untuk penyelidikan.
"Yang pasti kami perlu mendapat dukungan dari semua pemain utama, salah satunya adalah China," katanya kepada jurnalis ABC Stephen Dziedzic.
Sementara itu, diplomat AS malah mendesak untuk menggunakan bahasa lebih keras yang secara khusus menyebut bagaimana awal penyebaran virus di kota Wuhan.
Presiden Donald Trump dan Menlu Mike Pompeo telah mengecam penanganan awal yang dilakukan China, dan menuduh negara itu sengaja menutup-nutupi wabah dan membiarkannya menyebar ke seluruh dunia.
Namun Battu-Henriksson mengatakan bagi Uni Eropa, fokus mereka yaitu bertemu untuk mencari solusi yang bisa diterapkan bagi semua negara.
"Bagi kami, bukan saatnya untuk saling menyalahkan seperti yang kita lihat dalam narasi satu pihak dengan yang lainnya," katanya.
China tak tanggapi Australia
Sementara itu, hubungan Australia dan China kian memanas setelah Australia mendesak digelarnya penyelidikan mengenai asal-usul penyebaran virus corona. Upaya pejabat Australia untuk berbicara dengan pemerintah China tidak mendapat tanggapan.
Menteri Perdagangan Senator Simon Birmingham dalam wawancara dengan ABC hari Minggu mengungkapkan, ia berusaha untuk berbicara dengan mitranya di China sejak negara itu mengancam akan mengenakan tarif impor 80 persen pada gandum Australia.
China berencana mengambil keputusan tentang tarif impor gandum pada hari Selasa (19/05).
Jika tarif 80 persen itu diterapkan, kalangan eksportir Australia khawatir akan melumpuhkan pasar mereka.
"Kami telah mengajukan permintaan agar saya bisa berbicara dengan mitra saya di China," kata Senator Birmingham.
"Permintaan tersebut belum dipenuhi dan pada tahap ini hanya ditampung," ujarnya seraya menambahkan pembicaraan di tingkat diplomat tetap berlangsung.
"Telepon itu harus dijawab," katanya. "Kami terbuka untuk berdiskusi kapan saja bahkan untuk masalah yang sulit."
Senator Birmingham mengatakan Australia akan membawa China ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) jika negara itu memberlakukan tarif 80 persen.
Hubungan kian memanas
Hubungan antara kedua negara terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Sebelumnya Australia pernah melarang perusahaan China Huawei ikut dalam tender infrastruktur seluler 5G karena pertimbangan keamanan nasional.
Kini desakan Australia untuk menyelidiki asal-usul penyebaran COVID-19, semakin memanaskan situasi.
Dubes China Cheng Jingye menanggapi hal itu dengan menyatakan negaranya mungkin saja mengambil langkah-langkah ekonomi terhadap Australia.
"Mungkin masyarakat awam (di China) akan bertanya-tanya, mengapa kita harus minum anggur atau makan daging sapi Australia?" katanya akhir April lalu.
Ia menambahkan rakyat China bisa saja berpikir ulang untuk mengirimkan anak-anak mereka bersekolah di negara yang bersikap menentang mereka.
Selanjutnya, meski China membantah ada kaitannya dengan desakan penyelidikan COVID-19, namun mereka memutuskan untuk menghentikan impor daging sapi dari empat Rumah Potong Hewan (RPH) di Australia.
Ke-4 RPH diperkiraan mencakup 35 persen ekspor daging sapi Australia ke China.
Senator Birmingham berdalih bahwa masalah tarif impor gandum dan daging sapi ini tidak ada kaitannya dengan langkah Australia mendorong penyelidikan COVID-19.
Dikatakan, larangan impor daging sapi disebabkan karena eksportir Australia gagal memenuhi standar kesehatan China, sedangkan ancaman tarif impor gandum disebabkan China menuduh Australia melakukan dumping.
Australia akan mengajukan bantahan resmi atas tudingan China ini dalam beberapa hari mendatang.
"Pandangan kami yaitu gandum Australia masuk ke China dengan harga komersial yang kompetitif, sepenuhnya berdasarkan harga pasar," katanya.
"Tidak ada subsidi di dalamnya, tidak ada dumping yang dilakukan," tambah Senator Birmingham.
Ia memperingatkan kalangan pengusaha Australia agar memikirkan kembali ketergantungan mereka ke pasar China, dan mendorong diversifikasi ke pasar di negara-negara lain.
Simak berita lainnya dari ABC Indonesia.