Rabu 20 May 2020 13:14 WIB

Pengamat: Defisit Melebar Tandanya Fiskal RI Tidak Sehat

Pemerintah dinilai kurang efektif menjamin risiko terkendali fiskal.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020, beberapa waktu lalu.
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020, beberapa waktu lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  — Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abdul Manap Pulungan, mengatakan, defisit dalam outlook Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 yang melebar menjadi Rp 1.028,5 triliun atau 6,27 persen dari produk domestik bruto (PDB) menandakan kondisi fiskal Indonesia yang tidak sehat. “Sebetulnya fiskal kita itu tidak sehat karena ketika membutuhkan stimulus besar, mencetak utang dengan SBN, tapi bagaimana pembayaran ke depan? Padahal, pendapatan negara tidak tercapai, dalam kondisi normal pun tidak tercapai,” katanya di Jakarta, Rabu (20/5).

Untuk menutupi biaya utang, Abdul melanjutkan, pemerintah diperkirakan akan berutang kembali karena pendapatan negara merosot. Kondisi tersebut berpotensi memengaruhi fiskal APBN tahun-tahun mendatang.

“Kalau itu defisit artinya kita bayar utang lewat gali utang. Jadi, kita membayar utang tahun depan itu dengan menerbitkan SBN (surat berharga negara) tahun ini,” kata peneliti makroekonomi dan keuangan Indef itu.

Untuk mendongkrak penerimaan negara dari pajak, Abdul mendorong pemerintah menggali lebih optimal dari perusahaan teknologi informasi berbasis digital termasuk perdagangan dalam jaringan atau e-commerce. Tak hanya itu, Abdul menambahkan, pajak penghasilan pribadi khususnya kelas atas yang belum terdata perlu digenjot termasuk memastikan dana hasil pengampunan pajak tidak keluar dari Indonesia.

Abdul juga mendorong penerbitan utang perlu didukung pengelolaan risiko keuangan negara seperti yang disampaikan sebelumnya oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BPK dalam Ihktisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) kedua 2019 menyebutkan pemerintah pusat dinilai kurang efektif menjamin biaya minimal dan risiko terkendali serta kesinambungan fiskal 2018-2019.

“Selalu disebutkan bisa menjaga defisit fiskal tiga persen dan rasio utang yang di bawah 60 persen PDB. Bukan itu saja indikatornya. Harusnya kemampuan membayar (utang) berapa, rasio pendapatan terhadap utang juga berapa,” kata Abdul.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam jumpa pers terkait pemulihan ekonomi nasional (PEN), Senin (18/5), mengatakan, pemerintah akan merevisi kembali postur APBN berdasarkan Perpres 54 Tahun 2020. Pasalnya, defisit melebar dari semula 5,07 persen atau Rp 852,9 triliun menjadi Rp 1.028,5 triliun atau 6,27 persen.

Dalam outlook APBN 2020, Sri menyebutkan, pendapatan negara diperkirakan menurun Rp 69,3 triliun dari Rp 1.760,9 dalam Perpres 54 tahun 2020 menjadi Rp 1.691,6 triliun. Sementara itu, melalui PEN pemerintah menambah belanja negara subsidi bunga untuk UMKM Rp 34,2 triliun, perpanjangan diskon listrik Rp 3,5 triliun, bansos tunai diperpanjang hingga Desember 2020 sebesar Rp 19,62 triliun da,n cadangan stimulus Rp 60 triliun.

“Untuk bisa mendanai defisit sebesar 6,27 persen atau Rp 1.028,5 triliun dilakukan melalui pembiayaan dan pengadaan surat berharga yang sudah diatur dalam perppu dan SKB antara Kemenkeu dan Bank Indonesia,” katanya.

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement