REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Dalam melahirkan sebuah karya Imam Syafi'i merujuk pada sumber-sumber hukum Islam yakni Alquran, hadits, ijma, qiyas, aqwal shahabah, istihab, dan al-akhz bi aqalli ma qila. Teori telaah hukum yang diawali oleh sahabat Muadz bin Jabal ini dilanjutkan oleh intelektual muslim dari generasi ke generasi termasuk Imam Syafi'i.
Ustaz Teuku Khairul Fazli, Lc dalam bukunya "Ushul Fiqih Mazhab Syafi’i" mengatakan Imam Asy-Syafi’i, sebagaimana para ulama lainnya, menetapkan bahwa Alquran merupakan
sumber hukum Islam yang paling pokok.
"Oleh karena itu, beliau senantiasa mencatumkan nash-nash Alquran setiap kali mengeluarkan pendapatnya, sesuai metode yang digunakannya, yakni deduktif," katanya.
Syaikh Abu Zarrah berkata: Imam Asy-Syafi’i telah menempuh jalan yang lurus, dia menggunakan Alquran dan As-Sunnah untuk menetapkan suatu hukum. Jika As-Sunnah tidak ditemukan, dia akan menggunakan alat bantu dari perkataan sahabat Nabi, baik yang menyangkut hal-hal yang disepakati
maupun yang diperselisihkan.
"Kalau tidak menemukan perkataan sahabat, dia menggunakan alat bantu sastra dan bahasa Arab, logika dan qiyas," katanya.
Ustaz Teuku mengatakan, Dilalah Al-Quran terhadap hukum ada dua macam.
Pertama qathi’I. JIka lafaznya hanya mengandung satu makna atau tidak multi tafsir. Contoh. "Cambuklah penzina laki-laki dan penzina perempuan masing-masing 100 kali."
Kedua zhanni. Jika lafaznya mengandung makna lebih dari satu atau multi tafsir. Contoh. "Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru."
Hadits
Ia mengatakan bahwa, hadist sebagai sumber hukum Islam, kedudukannya setingkat di bawah Alquran sebagaimana firman Allah Al-Hashr ayat 7. ”…. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…”
Ustaz Teuku mengatakan, dalam perkembangan dunia yang serba global ini, berbagai ketidakpastian selalu menerpa kehidupan umat manusia sehingga banyak orang yang bingung
dan menemui kesesatan. Rasulullah SAW sudah mengantisipasinya dengan menurunkan atau mewasiatkan dua pusaka istimewa, kitabullah (Al-Quran) dan Sunnah (Hadits).
Barangsiapa berpegang teguh kepada kedua pusaka tersebut, dia akan selamat di dunia dan di akhirat. Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya aku tinggalkan padamu dua perkara, kamu tidak akan tersesat setelah itu, yaitu Kitab Allah dan Sunnahku." (H.R. Hakim).
Mengenai hadits Nabi, apabila diriwayatkan oleh orang tsiqah dari orang tsiqah dari Nabi dan tidak ada
amal yang bertentangan dengan kandungan hadits itu, maka hadist itu dapat dipegangi. "Kalau ada dua hadits semacam ini kelihatan bertentangan, maka Imam Asy-Syafi’i berusaha kompromi menggabungkan keduanya," katanya.
Sebab bisa jadi yang satu merupakan aturan pengecualian (Mukhashshish)
bagi dalil yang satunya yang mengandung aturan yang umum. Bila kompromi tidak mungkin, maka beliau membandingkan rangkaian sanad keduan hadits tersebut. Hadits yang sanadnya lebih kuat dimenangkan atas yang lain.
”Kalau ternyata kedua hadits itu mempunyai kekuatan yang sama, maka beliau berusaha mencari informasi, hadits mana yang datang duluan. Selanjutnya ia menggunakan teori
Nasikh-Mansukh," katanya.
Ijma
Ijma adalah kesepakatan para ulama dalam kurun waktu yang sama, disana tidak boleh ada seorang pun menyatakan perselisihan pendapatnya dalam kasus yang dicarikan kesepakatannya. Benar bahwa kewajiban sholat lima waktu, puasa Ramadhan, dan kewajiban-kewajiban lain telah ditunjuki oleh Alquran dan As-Sunnah.
Tetapi para ulama mengatakan bahwa kewajiban tersebut disamping ditunjuki oleh Al-Quran dan As-Sunnah juga Ijma’ ulama. Kewajiban sholat itu lima kali mempunyai peran mengikat kepada semua orang Islam. Ijma adalah sarana penyatuan pendapat dan berperilaku yang biasanya disebut jamaah.
"Sebuah hadits nabi menunjuk bahwa orang yang memisahkan diri dari jamaah tidak dijamin keselamatannya," katanya.
Karenanya meskipun petunjuk Alquran itu sudah jelas, menurut teori ini, masih diperlukan kesepakatan (ijma) terhadap hasil penunjukan tersebut. Tampaknya ide ijma sebagai sumber hukum ini merupakan upaya antisipatif agar masyarakat Islam tetap terpelihara dalam persatuan.
"Ulama fiqih, termasuk Imam Asy-Syafi’i melihat pertikaian politik dalam pemerintahan Islam yang melibatkan semua masyarakat Islam sudah sampai pada titik yang membahayakan. Perpecahan umat yang disebabkan perbedaan inilah yang dirasa membahayakan persatuan." katanya.