REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG - Hong Kong bersiap untuk menggelar unjuk rasa pertama sejak rencana kontroversial China untuk secara langsung memberlakukan undang-undang keamanan nasional Hong Kong, Ahad (24/5) waktu setempat. RUU China dinilai publik sebagai bentuk pengetatan penguasaan China atas wilayah pusat keuangan, Hong Kong.
Unjuk rasa yang direncanakan akhir pekan ini pada awalnya diselenggarakan terhadap RUU lagu kebangsaan nasional yang dijadwalkan untuk pembacaan kedua pada Rabu. Kemudian, usulaan undang-undang keamanan nasional oleh China memicu seruan agar lebih banyak orang turun ke jalan.
Pada Sabtu (23/5), media lokal Hong Kong melaporkan polisi terlihat memasuki biro perwakilan utama Beijing di Hong Kong. Aksi protes diperkirakan akan dimulai kemudian di distrik perbelanjaan yang ramai di Causeway Bay.
Hong Kong semakin menjadi pion dalam memburuknya hubungan antara Washington dan Beijing. Pengamat akan mengawasi tanda-tanda pengunduran diri untuk dikalahkan di antara komunitas lokal yang lebih luas atau indikasi bahwa para aktivis bersiap untuk tantangan baru.
Protes antipemerintah yang meningkat pada Juni tahun lalu menjerumuskan Hong Kong ke dalam krisis politik terbesar dalam beberapa dasawarsa, menghantam ekonomi dan menimbulkan tantangan rakyat yang paling parah kepada Presiden Xi sejak ia berkuasa pada 2012.
Bentrokan kekerasan yang mengguncang kota akhir-akhir ini relatif mereda. Hal itu tidak lain karena pemerintah memberlakukan langkah-langkah untuk mengekang penyebaran virus corona.
Pada Kamis lalu, Beijing merancang undang-undang keamanan nasional baru untuk Hong Kong. Dalam menyusun UU tersebut, Beijing berencana untuk menghindari badan pembuat hukum Hong Kong, Dewan Legislatif.
Dilansir laman Reuters, langkah ini telah memicu kekhawatiran sistem "one country two systems" yang memerintah Hong Kong sejak kembalinya ke pemerintah Cina pada 1997 dan dan yang menjamin kebebasan luas kota itu tidak terlihat di daratan. Dengan sistem tersebut, Hong Kong masih dapat menikmati kebebasan demokrasi dibandingkan Cina daratan. Namun, dengan UU baru ini, maka kebebasan berserikat dan berkumpul dibatasi. Para pelanggar UU dinilai sebagai tindakan subversif.
Beberapa komentator lokal menilai, RUU tersebut sebagai "opsi nuklir" yang merupakan bagian dari permainan kekuasaan tinggi Presiden Cina Xi Jinping.
Serangan balasan komentar juga meningkat pada Sabtu, ketika hampir 200 tokoh politik dari seluruh dunia mengatakan, UU yang diusulkan Cina adalah serangan komprehensif terhadap otonomi kota, aturan hukum dan kebebasan mendasar.
Namun Cina telah menolak keluhan negara-negara lain. Cina menyebut negara lain turut "campur tangan" dan menolak kekhawatiran undang-undang yang diusulkan akan merugikan investor asing.