REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Pagi ini ada pesan masuk ke handphone saya melalui Wattsap (WA). Katanya Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) ulang tahun hari ini. Membaca itu sontak mendadak mulut ini mengucap doa selamat kepadanya: semoga ridha Allah selalu memayunginya dan seluruh keluarganya, serta kita semua juga.
Bagi orang yang sempat menikmati atmofsir Jogjakarta, dari dahulu kami dan banyak orang lainnya menukmati sentuhannya. Masih teringat kala pagi buta beberapa kali menjemput dia saat pulang dari Bandara Jogya untuk dibawa ke arena diklat jurnalistik di Kaliurang. Isi pembicaraan di mobil datsun sederhana warna merah punya seorang teman itu kemudian muncul dalam ide cerita ‘kancil dan buaya’ pada kolom Cak Nun yang terbit di setiap Rabu di Majalah detik.
Yang paling tak bisa dilupakan adalah kami mendapat traktir makan siang darinya setelah dia ceramah, atau di lain waktu mendapat bekal rohani soal ketabahan hidup ketika pergi ke rumahnya.
Bahkan, ada hal yang sangat khusus yang saya kenang ketika pergi rumahnya yang kala itu baru di bangun di Bantul. Waktu itu kami sempat ditemui ibunda Cak Nun. Karena kami datang dengan beberapa teman sang ibu kemudian memberi nasihat: “Nak, jangan bersikap berlebihan sama Cak Nun ya. Yang wajar saja. Contohlah yang baik dari dia, dan tinggalkan yang buruk bila kalian menjumpai.”
Nasihat sang ibu bernas sekali. Sebab, kala itu sosok Cak Nun berada di puncak, bahkan sampai hari ini masih tetap dipuncak. Mungkin Cak Nun tidak tahu ini dan tidak perlu tahu siapa saya, tapi nasihat dari sang ibu tersebut tetap lestari terpatri dibenak dan jadi pelajaran hidup bagi pribadi saya.
Alhasil, Cak Nun, dengan tulus kami ucapkan selamat ulang tahun. Kami terus pantengi semua pengajian anda. Kami kadang datang juga ke acara Maiyahan di TIM Jakarta. Kami mengucapkan terima kasih atas segala ketulusanmu.
Mewakii teman-teman yang dahulu berkali-kali menjemputmu dari Bandara, mengundang dan mewancarai untuk majalah Himmah UII, hingga berulangkali ditraktir makan siang (dan kami waktu itu memang lapar), kami mengucapkan ribuan terima kasih. Di antara teman-teman itu kini telah menjadi ‘orang’ berpendidikan yang kini tersebar di berbagai penjuru dunia, ada yang di Malaysia, Australia, Jepang, hingga Amerika Serikat.
Terima kasih Cak Nun. Budimu tak terbalaskan..