REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengingatkan keadaan darurat pandemi Covid-19 memberi catatan tersendiri pada tidak memadainya kerangka kerja, yang mengatur hubungan ekonomi dan administrasi antara Israel dan Palestina. Hal ini disampaikan melalui makalah baru yang diterbitkan PBB.
"Semua pihak harus ambil bagian selama beberapa bulan mendatang untuk menjaga prospek resolusi kedua negara, yang dinegosiasikan untuk konflik tersebut, sejalan dengan resolusi PBB, hukum internasional dan perjanjian bilateral," kata Koordinator Khusus PBB untuk Proses Perdamaian Timur Tengah, Nickolay Mladenov dikutip dari laman Reliefweb, Senin (1/6).
Makalah yang dikeluarkan kantor Koordinator Khusus PBB untuk Proses Perdamaian Timur Tengah (UNSCO), di pertemuan dua tahunan Panitia Penghubung Ad Hoc (AHLC), yang akan datang pada 2 Juni 2020 itu, mencatat setiap langkah yang dilakukan Israel.
Langkah Israel terkait bagian dari Tepi Barat yang diduduki atau penarikan Palestina dari perjanjian bilateral, akan secara dramatis mengubah dinamika lokal. Kemungkinan besar langkah itu akan memicu konflik dan ketidakstabilan di Tepi Barat dan Jalur Gaza yang diduduki.
Terkait krisis kesehatan, PBB memperingatkan jika tren saat ini terus berlanjut, pencapaian pemerintah Palestina selama seperempat abad terakhir akan memudar. Situasi perdamaian dan keamanan akan memburuk, dan situasi yang semakin keras.
Dampak sosial ekonomi Covid-19 pada rakyat Palestina sudah sangat besar. Otoritas Palestina membutuhkan bantuan keuangan dan pembangunan yang meningkat untuk memenuhi kebutuhan kesehatan publiknya, menyediakan layanan penting, dan mengatasi dampak sosial ekonomi dari pandemi tersebut.
Tim Negara Kemanusiaan juga telah mengidentifikasi kebutuhan pendanaan yang signifikan untuk tanggap darurat, dan Tim Negara PBB akan segera mengumumkan rencana respons sistem pengembangannya. Makalah ini mendesak komunitas donatur untuk memobilisasi dalam menanggapi keadaan darurat yang belum pernah terjadi sebelumnya.