REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyakit campak menjadi sangat menular karena partikel virusnya yang infeksius bisa bertahan di udara selama dua jam. Lantas, bagaimana dengan virus corona tipe baru yang merupakan penyebab Covid-19?
Di laman resminya, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat (AS) menjelaskan bahwa belum diketahui berapa lama udara di dalam ruangan yang pernah dimasuki orang positif Covid-19 tetap berpotensi menular.
Sejumlah ilmuwan mengatakan, memang ada kemungkinan virus corona bertebaran dan bertahan di udara. Namun, belum ada bukti bahwa virus dalam ukuran kecil tanpa perantara zat lain itu bisa membuat seseorang positif Covid-19.
Virus corona diketahui menyebar lewat tetesan liur (droplet). CDC meyakini droplet bertanggung jawab atas sebagian besar penyebaran Covid-19.
"Pada dasarnya terdapat perbedaan ukuran," kata Dr Ronald Collman terkait ukuran virus di udara dan virus yang terbawa pada droplet.
Collman adalah profesor kedokteran di Divisi Perawatan Paru-Paru, Alergi, dan Kritis di Perelman School of Medicine, University of Pennsylvania, AS. Dilansir NBC News, Senin (1/6), ketika seseorang yang positif Covid-19 batuk atau bersin, mereka menyemburkan droplet yang relatif besar, setidaknya berdiameter 5 mikrometer, ke udara.
Droplet yang mengandung virus corona itulah yang akhirnya menyebar ke orang lain, misalnya setelah melekat pada wajah seseorang ataupun pada permukaan benda. Radius jangkauan droplet seseorang sekitar dua meter.
Namun, sejumlah riset menemukan bahwa partikel virus corona dapat terjebak di udara dengan ukuran kurang dari 5 mikrometer. Kecilnya ukuran membuat partikel virus itu terlalu ringan untuk jatuh ke permukaan sehingga menyebar di udara (airborne). Gambaran partikel kecil ini serupa dengan uap air yang tampak lalu perlahan menghilang ketika seseorang bernapas di tempat dingin.
Potensi virus corona bertahan cukup lama di udara mengkhawatirkan para ilmuwan yang mempelajari aerosol. Kimberly Prather, seorang profesor terkemuka dalam kimia atmosfer di University of California, San Diego, AS, membahas kemungkinan itu dalam makalah yang diterbitkan pekan ini di jurnal Science.
"Penularan virus secara aerosol harus diakui sebagai faktor kunci yang mengarah pada penyebaran penyakit pernapasan menular," tulis Prather dan rekannya. Namun, menurut dia kepada NBC News, belum ada cukup bukti untuk menyatakan virus corona dapat menginfeksi via udara.
Ahli lain setuju dengan pernyataan itu. "Hanya karena beberapa unsur virus terdeteksi, tidak berarti itu menular," kata Dr Aditya Shah, seorang ilmuwan penyakit menular di Mayo Clinic di Rochester, Minnesota, AS.
Makin kecil partikelnya, menurut para ilmuwan, makin kecil kemungkinan virus tetap hidup dan menyebar ke dalam tubuh orang lain. "Saya pikir masuk akal bahwa mungkin ada beberapa tingkat transmisi aerosol. Namun, jika itu terjadi, itu mungkin tidak terlalu umum," kata Collman.
Kendati demikian, Collman tetap mendorong masyarakat untuk menggunakan masker. Saran itu serupa dengan yang disampaikan otoritas kesehatan. Tujuannya untuk memperkecil kemungkinan penyebaran virus dalam ukuran apa pun.
"Orang-orang yang tidak memakai masker wajah berpikir, 'Saya tangguh. Saya kuat. Saya tidak takut terkena Covid-19.' Apa yang sebenarnya mereka katakan adalah, 'Aku tidak peduli dengan orang lain,'" ujar Collman.