Ahad 20 Oct 2024 19:50 WIB

Kasus Batuk Pertusis Melonjak di AS dan Eropa Setelah Pandemi Covid-19

Pertusis sering kali disebut sebagai batuk 100 hari.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
Batuk pertusis (Ilustrasi). Setelah pandemi Covid-19, kasus batuk rejan atau pertusis kembali meningkat di berbagai negara pada 2024.
Foto: Republika
Batuk pertusis (Ilustrasi). Setelah pandemi Covid-19, kasus batuk rejan atau pertusis kembali meningkat di berbagai negara pada 2024.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah pandemi Covid-19, kasus batuk rejan atau pertusis kembali meningkat di berbagai negara pada 2024. Amerika Serikat melaporkan lebih dari 18.500 kasus sejak awal tahun, menurut Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC).

Angka kasus pertussis meningkat hampir lima lipat dibandingkan periode yang sama tahun lalu, dan merupakan yang tertinggi sejak 2014. Lonjakan kasus pertusis juga terjadi di Eropa.

Baca Juga

Otoritas Kesehatan Prancis melaporkan epidemi batuk rejan terburuk dalam 25 tahun terakhir, dengan 35 ribu kasus yang dikonfirmasi di laboratorium melalui tes PCR. Pertusis juga telah menewaskan 22 anak di Prancis tahun ini, termasuk 20 bayi di bawah usia satu tahun. Public Health France juga mencatat bahwa lebih dari 130 ribu kasus batuk rejan telah didiagnosis oleh dokter umum.

Sementara itu, menurut laporan Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa (ECDC) pada awal tahun ini, ada hampir 60 ribu kasus pertusis di negara-negara Eropa selama tahun 2023 dan hingga April 2024, yang mewakili peningkatan lebih dari sepuluh kali lipat dibandingkan dengan tahun 2021 dan 2022. Badan Keamanan Kesehatan Inggris (UKHSA) juga melaporkan, ada lebih dari 13.000 kasus pertusis di Inggris antara Januari dan Agustus 2024, serta 10 kematian bayi.

“Jumlah kasus meningkat pada awal 2024. Kasus yang dikonfirmasi pada kuartal kedua tahun 2024 sangat tinggi, melebihi kasus-kasus pada kuartal mana pun pada tahun wabah 2012,” kata badan tersebut.

Apa itu pertusis?

Pertusis sering kali disebut sebagai “batuk 100 hari” karena dapat menyebabkan batuk yang berlangsung selama berpekan-pekan. Pertusis atau batuk rejan sering kali dimulai dengan gejala flu biasa seperti pilek, demam, dan batuk.

Penyakit ini sangat berbahaya bagi bayi yang belum diimunisasi atau belum diimunisasi sepenuhnya. Pada bayi, mungkin tidak menyebabkan batuk, namun dapat menimbulkan kesulitan bernapas atau membuat kulit bayi berubah menjadi biru.

Para ahli mengatakan cara terbaik untuk mencegah pertusis adalah melalui vaksinasi. “Imunisasi selama masa kehamilan sangat efektif dalam mencegah penyakit dan kematian pada bayi yang baru lahir yang masih terlalu muda untuk divaksinasi,” demikian menurut Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa (ECDC), seperti dilansir Euronews, Ahad (20/10/2024).

Batuk rejan biasanya memiliki siklus tiga sampai lima tahun, namun menurut Institut Pasteur Prancis, pandemi Covid telah mengganggu keteraturan siklus tersebut. Dalam sebuah laporan bulan lalu, institut tersebut mengaitkan lonjakan ini dengan kekebalan yang menurun selama pandemi, dan mereka juga menemukan strain bakteri yang resisten terhadap antibiotik lini pertama.

“Kondisi ini menekankan kebutuhan untuk memantau secara ketat jenis bakteri yang bertanggung jawab atas batuk rejan,” kata Institute tersebut.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement