Rabu 10 Jun 2020 23:29 WIB

Perang Demi Perang di Irak dan Raibnya Warisan Intelektual

Banyak manuskrip warisan intelektual di Irak hilang akibat perang.

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Nashih Nashrullah
Banyak manuskrip warisan intelektual di Irak hilang akibat perang. Ilustrasi suasana Kota Mosul, Irak yang dilanda peperangan, Senin, 29 Mei 2017.
Foto: REUTERS/Alkis Konstantinidis
Banyak manuskrip warisan intelektual di Irak hilang akibat perang. Ilustrasi suasana Kota Mosul, Irak yang dilanda peperangan, Senin, 29 Mei 2017.

REPUBLIKA.CO.ID, Pada dekade terakhir abad 20, Irak mengalami tragedi silih berganti. Pada 1990, Irak berhasil mengokupasi Kuwait dan mengambil alih beberapa manuskrip koleksi Sabah dan memindahkannya ke Baghdad.

Sayangnya, saat Perang Teluk pecah pada 1991, manuskrip di beberapa museum provinsi di Irak dijarah. Laporan misi Jepang atas nama Pemerintah Irak dan UNESCO pada 1996 menyebut, di antara benda-benda bersejarah yang hilang termasuk di dalamnya adalah 364 manuskrip Arab yang dijarah di Museum Kirkuk.

Baca Juga

Milenium baru membawa harapan untuk meningkatkan nilai peradaban dunia. Sayang, harapan itu hanya ada di langit dan tak pernah menjejak bumi. Pada 2003, AS menginvasi Irak secara ilegal.

Bencana bagi peninggalan sejarah Islam di sana. Video ditarik jatuhnya patung Saddam Husein di pusat ibu kota, pada 9 April 2003, tentu masih diingat banyak orang. Pada 9-12 April 2003, terjadi penjarahan sistematik masif di Museum Irak.

Pada 14 April 2003, Awqaf Library, Irak, dibakar. Pada hari yang sama, Perpustakaan dan Pusat Arsip Nasional Irak dijarah dan dibakar. Perpustakaan riset penting di Bayt al-Hikam, Iraqi Academy of Science, dan arsip kementerian juga bernasib serupa. Kondisi hampir sama atau lebih buruk juga terjadi di perpustakaan-perpustakaan di luar Baghdad, seperti di Mosul dan Basra.

Bencana ini memicu Dewan Arsip Internasional Regional Arab membuat pernyataan tegas pada 16 April 2003. Mereka menyebut invasi Irak adalah ancaman serius bagi peradaban Irak dan meminta Pemerintah AS dan Inggris serta institusi akademik kedua negara untuk melakukan pelestarian warisan budaya Irak sampai mereka menemukan ilmuwan dan intelektual Irak yang bisa dipercaya menangani warisan budayanya sendiri.

Sejumlah misi kemudian dilakukan untuk mendalami apa yang terjadi pada manuskrip dan aneka warisan budaya lain yang ada di Irak pascainvasi. Laporan yang dibuat para utusan misi, ada yang berguna, ada pula yang tidak.

Beberapa laporan yang dinilai bermanfaat adalah laporan ilmuwan Irak-Amerika, Nabil al-Tikriti, yang mengunjungi Baghdad atas nama Asosiasi Pustakawan Timur Tengah Amerika Utara dan University of Chicago yang memberi informasi kondisi lima koleksi utama MSS Library di sana.

Laporan lainnya adalah yang ditulis ilmuwan asal Prancis, Edouard Metenier, yang memiliki pengetahuan dan pengalaman di berbagai perpustakaan di Irak sebelum mulai perang. Laporan hasil observasi Metenier dan tim memuat kondisi Perpustakaan dan Arsip Nasional Irak, Awqaf Library, dan perpustakaan Masjid Qadiriya. 

UNESCO juga mengirim misi yang salah satu anggotanya adalah ahli perpustakaan, Jean-Marie Arnoult, dari Bibliothèque Nationale de France. Laporan tim ini dipublikasikan di the International Federation of Library Associations (IFLA) dan kaya informasi, sebab yang mereka kunjungi tak hanya perpustakaan di Baghdad, tapi juga perpustakaan universitas dan perpustakaan publik di Mosul dan Basra. 

 

US Library of Congress juga mengirim misi ke Irak menjelang akhir 2003. Mereka mengunjungi Perpustakaan Nasional dan MSS Library di Baghdad dan membuat rekomendasi bagi kementerian kebudayaan yang saat itu berkuasa. Misi-misi ini tampaknya tidak saling terkoordinasi satu sama lain, karena ada yang tumpang tindih bahkan kontradiktif. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement