REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Krisis ekonomi dan tingginya biaya hidup mendorong pecahnya protes keras dari warga di Lebanon. Masyarakat turun ke jalan di kota Beirut, Lebanon, memprotes krisis ekonomi setelah mata uang negara itu jatuh ke rekor terendah terhadap dolar AS baru-baru ini.
Dilansir di Anadolu Agency, Sabtu (13/6), setidaknya, sepuluh orang terluka dalam aksi demonstrasi pada Jumat (12/6). Aksi demonstrasi memasuki hari kedua, di mana para demonstran menuduh pemerintah gagal menemukan jalan keluar dari kesulitan ekonomi dan bank sentral tidak mampu mengembalikan sistem mata uang asing ke pasar ke keadaan sebelumnya.
Belasan pengunjuk rasa tersebut berkumpul di beberapa bagian kota Beirut. Mereka menentang rezim perbankan dan anti-pemerintah. Aksi protes tersebut berlanjut menjadi rusuh saat demonstran di Riad Al Solh Square membakar toko-toko dan tempat bisnis. Aksi mereka itu kemudian dibubarkan oleh pasukan keamanan.
Di tempat lain di kantor gubernur provinsi di Tripoli utara, pengunjuk rasa juga turun ke jalan memprotes nilai mata uang pound Lebanon yang kehilangan setengahnya dan atas melonjaknya pengangguran serta tingginya biaya hidup. Para demonstran meneriakkan kata 'revolusi' dan membawa bendera Lebanon. Tidak hanya itu, mereka juga mulai melemparkan batu ke gedung-gedung.
Kondisi itu memaksa pasukan keamanan menggunakan semprotan merica untuk membubarkan aksi massa tersebut. Sementara itu, Palang Merah Lebanon mengatakan sembilan orang terluka di Tripoli utara dan seorang lainnya di Beirut dalam aksi demonstrasi tersebut.
Lebanon menderita pergolakan krisis ekonomi yang berat, dari mulainya angka pengangguran yang tinggi, pertumbuhan ekonomi yang lambat, dan menjadi salah satu rasio utang tertinggi di dunia. Sementara itu, pandemi virus corona baru telah memperburuk situasi, karena pemerintah setempat memperluas langkah-langkah untuk mengekang penyebaran virus tersebut.