REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Pemerintah Prancis pada Jumat (12/6), menyebut keputusan Amerika Serikat untuk menjatuhkan sanksi terhadap pegawai Mahkamah Pidana Internasional (ICC) merupakan serangan negara-negara pihak Statuta Roma. Prancis pun mendesak AS membatalkan langkah tersebut.
Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian melalui pernyataan mengatakan bahwa keputusan AS itu berisiko mempertanyakan independensi sistem peradilan. Sebelumnya pada Kamis (11/6) Presiden Donald Trump memberlakukan sanksi ekonomi dan perjalanan AS terhadap sejumlah pegawai ICC, yang dianggap AS terlibat dalam penyelidikan soal kemungkinan pasukan Amerika melakukan kejahatan perang di Afghanistan.
Dalam sebuah pernyataan, ICC mengatakan, langkah pemerintah AS adalah perlawan terbaru dari serangkaian serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap pengadilan. "Serangan-serangan ini merupakan eskalasi dan upaya yang tidak dapat diterima untuk mengganggu aturan hukum dan proses pengadilan," kata ICC.
Menteri Luar Negeri Belanda, Stef Blok, menyatakan terganggu dengan ancaman AS. Melalui akun Twitter, dia mengatakan negaranya mendukung ICC sebagai bentuk dukungan penting dalam perang melawan impunitas atau keadaan tidak dapat dipidana.
Jaksa penuntut ICC, Fatou Bensouda ingin menyelidiki kemungkinan kejahatan yang dilakukan antara 2003 hingga 2014 di Afghanistan. Penyelidikan itu termasuk dugaan pembunuhan massal warga sipil oleh Taliban, serta dugaan penyiksaan tahanan oleh otoritas Afghanistan dan, pada tingkat lebih rendah, oleh pasukan AS dan CIA. Investigasi ICC diberikan lampu hijau pada Maret.
ICC memutuskan untuk menginvestigasi setelah pemeriksaan pendahuluan oleh jaksa penuntut pada 2017. Dugaan yang berlandaskan fakta itu menunjukan kejahatan perang dilakukan di Afghanistan dan bahwa pengadilan memiliki yurisdiksi. Afghanistan adalah anggota ICC, meskipun Kabul berpendapat bahwa setiap kejahatan perang harus dituntut secara lokal.