REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: DR Margarito Kamis, Pakar Hukum Tata Negara
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat bersama 34 MUI daerah seluruh provinsi punya sikap jelas terhadap rancangan undang-undang (RUU) haluan ideologi Pancasila (HIP). Kejelasan sikap mereka itu telah dinyatakan secara terbuka belum lama ini. Kenyatan itu menggambarkan dengan jelas MUI secara terbuka memasuki panggung politik hukum RUU ini secara konkret.
Mengasyikan menyaksikannya. Namun, menantikan respons DPR, yang sejauh ini terlihat agak keras kepala, justru jauh lebih mengasyikan. Akankah DPR terus keras kepala,sehingga sikap MUI dianggap angin lalu saja? Waktu akan bicara dengan bahasanya yang khas.
Rasional
Rasionalkah sikap MUI itu? Mengada-adakah sikap MUI itu? Adakah sikap lain yang mungkin diambil MUI? Bila ada, sikap macam apakah itu yang dianggap layak diambil MUI? Bisakah MUI bersikap lain, berseberangan dengan sikap umat, yang sejauh ini melalui berbagai organisasi telah begitu lantang, terbuka menyatakan sikapknya?
Panggung politik hukum yang diambil saat ini terlihat berbeda dengan panggung untuk politik RUU lainnya. Sebentar sekali MUI memberi sikap umum terhadap RUU omnibus law cipta kerja. Segera setelah itu, MUI kembali tenggelam dalam kesibukan tradisionalnya.
Kesibukan itu, entah untuk urusan apa saja, membuat MUI membiarkan RUU Perubahan UU Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Minerba sukses menjadi UU. Padahal, efek unintended yang tertutup tabir wacana memiliki potensi menyusahkan umat. Namun, itulah kenyataannya, MUI membiarkan RUU itu berlalu dan menjadi UU.
Mirip dalam tampilan, sayup-sayup bersuara, tentu tak senyaring suara hari ini dalam merespons Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang telah ditingkatkan statusnya menjadi UU. Perbedaan skema mitigasi antara korporasi besar dan UMKM, terutama usaha kecil dan mikro, yang dijalani orang kecil di lorong-lorong sampai tengah malam, tak cukup menggetarkan MUI.
Tersingkirnya umat Islam dari usaha-usaha ekonomi, yang sebagian besar sebab tak terkait dengan malas, tetapi lebih merupakan bekerjanya kebijakan, sejauh ini terlihat biasa-biasa saja. MUI tak masuk ke dalam panggung politik kebijakan ini. Politik ini dibiarkan berlangsung dan terdekorasi penuh dengan logika kapitalis; logika yang berjarak jutaan mil dari logika UUD 1945.
Berlangsung seperti itu sekalipun, MUI masih terus memandu politiknya dengan kesantunan tak terkira. Mengkritik sejauh yang bisa, lalu membiarkannya terdekorasi sendiri oleh pembuat kebijakan. MUI terlihat membiarkan soal-soal itu diurus sepenuhnya oleh DPR, yang dalam kenyataannya jauh dari memuaskan.
Namun, mengambil kenyataan-kenyataan itu dan meletakkannya sebagai faktor perangsang terbentuknya sikap MUI terhadap RUU HIP jelas tak beralasan. RUU HIP, yang drafnya telah beredar itu, untuk alasan serasional apa pun, tetap saja terlihat menggelikan. Konyol dalam semua aspeknya.
Pancasila telah diterima dan diberlakukan sebagai ideologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi masih mau dibuatkan haluan untuk merealisasikan idiologi itu, jelas aneh. Tak logis. Bukankah ideologi itu mewakili, merefleksikan ide, yang di dalamnya termaktub serangkaian nilai hebat yang diyakini dan disepakati bangsa ini dalam mengayuh kehidupannya?
Bukankah ideologi itu dalam sifat pars pro toto merupakan haluan, panduan ideal buat bangsa ini bergerak menata dirinya dalam pergerakan memburu impiannya? Kalau ideologi itu pars pro toto merupakan haluan, lalu apa logisnya buat lagi haluan untuk merealisasikan haluan? Haluan untuk haluan? Haluan di atas haluan?
Menghadirkan UU HIP untuk membuka jalan, memberi pijakan pembentukan lembaga baru, apa pun namanya dengan tugas menyosialisasikan nilai-nilai Pancasila, jelas tak masuk akal. Toh, soal itu telah dapat dilaksanakan kendati masih parsial oleh MPR sejauh ini. Itu sebabnya menyodorkan hal ini sebagai tujuan utama RUU ini, sekalipun bukan pilihan ternalar.
Lalu apa? Itu yang jadi soal. Soal ini menggelembung dan akan terus membesar disebabkan salah satu yang dominan, dikesampingkannya Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Tentang Pembubaran PKI dan Larangan Penyebaran Marxisme/Leninisme di seluruh Wilayah Republik Indonesia.
Memasukkan, andai dilakukan, ketetapan MPR sebagai rujukan tegas ke dalam RUU ini sekalipun sama sekali tidak dapat mengubah sekecil apa pun resonansi yang telah muncul ke permukaan. Memasukkan TAP MPRS ini tak dengan sendirinya menutup ruang munculnya rumusan pasal demi pasal, baik nyata-nyata maupun samar-samar, menyangkal Ketuhanan Yang Maha Esa.
Politik pembentukan UU telah begitu terang benderang menampilkan cara-cara kotor menutup dan menyembunyikan tujuan besar yang hendak dicapai. Sekadar ilustrasi, Bank Sentral Amerika, karena ditolak dengan berbagai argumen sejarah, inisiatornya, kelompok bankir Wall Street, menyamarkan nama itu menjadi the Federal Reserve.
Cukup jelas lanskap politik pembentukan UU mendemonstrasikan tabiat tersembunyi dalam mengakomodasi dan merealisasikan tujuan kotor. Kalau tak bisa dicapai sekaligus, buat saja dulu pijakan dasarnya. Runtuhkan, setidaknya lemahkan dahulu, resistensi orang. Akomodasi sebisa mungkin pada tahap awal beberapa gagasan terkait.
Gagasan lainnya, yang sama penting, disimpan sebentar sampai waktu yang tepat tiba. Kapan waktunya tiba? Politik menunjukkan waktu yang tepat harus diciptakan, dikreasikan. Itulah, misalnya krisis ekonomi hebat tahun yang berawal pada tahun 1929. Begitu krisis datang, segera teridentifikasi kelemahan sistem perbankan.
Dirangsang oleh kenyataan itu, muncullah gagasan sistem itu harus di-reenggenering, harus diperbarui. Lahirlah the Banking Act 1931. Gagasan yang tercecer selama 16 tahun sejak UU the Feds akhirnya menemukan kembali waktu yang tepat untuk diformulasi, dimasukkan ke dalam UU. Begitu cara kerjanya.
Kenyataan politik pembentukan UU di atas menyodorkan hikmah berupa tak boleh terlena, hanya karena misalnya, DPR mundur selangkah, berkompromi, lalu memasukan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 ke dalam RUU HIP itu. UU jenis ini, sekuat dan secanggih apa pun motif dan tujuannya disembunyikan, tetap saja tidak bisa keluar dari sifatnya dasarnya sebagai UU yang merekayasa kehidupan sosial, dalam konteks ini termasuk keagamaan.