REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.
Memang mengejutkan mengapa trauma konflik berdarah-darah kaum Muslim terhadap pengikut komunis tetap lestari atau laten sampai hari ini. Bayangkan, bila dilacak konflik ini sudah menginjak satu abad, yaitu semenjak para anggota Sarekat Islam Merah melakukan rapat-rapat di rumah joglo milik saudagar kaya, H Rofi’i di Kotagede, Yogyakarta, yang kini dikenal warga sebagai rumah Ropingen.
Pada awalnya, anak muda SI merah itu menganggap para seniornya di Sarekat Islam (kemudian disebut SI Hijau) kurang membela rakyat, dan terlihat pula kurang revolusioner atau radikal di dalam melawanan penjajah Belanda. Ini karena saat itu SI memilih masuk ke dewan rakyat (Volks Raads) bentukan pemerinah kolonial Belanda. Langkah Cokroaminoto dianggap lamban. Dan ini makin menggebu setelah pengaruh ajaran komunis yang dibawa ke Henk Sneevliet dari Belanda kemudian bisa masuk ke organisasi massa yang kala itu punya masa dan kepengurusan terbesar di Hindia Belanda.
Pada masa awal itu banyak sekali tokoh Sarekat Islam masuk ke SI. Salah satu diantaranya adalah H Misbah, saudagar kaya asal Solo yang kala itu juga kader Muhammadiyah. Ia terpengaruh dengab SI merah, bahkan menjadi pengikutnya dan oleh pemerintah Hindia Belanda dianggap sebagai salah satu otak pemberontakan PKI 1926. Misbah kemudian di buang di Digul, Papua dan meninggal di sana.
Dan memang letupan pertama dari percikan konflik antara PKI dan Sarekat Islam kala itu masih biasa saja. Sekedar perang kata dan sibuk berbantah soal berbagai tuduhan, misalnya soal jalannya roda organisasi yang dikelola Cokro Amonioto. Bahkan pada awal pendirian PKI pun suasana unik. Kecenderungan ikon perjuangan lokal melawan penjajah yang pada awalnya pada awal 1900-an mulai dimunculkan berkat Sarekat Dagang Islam dan Sarekat Islam, masih terbawa dalam Konngres PKI yang pertama di Semarang. Simbol perang Jawa, misalnya Pangeran Diponegoro dan Sentot Ali Basyah, gambarnya perpampang pada dinding gedung yang dipakai dalam konggres pertama PKI. Gambar Diponegoro dan Sentot kala itu beranding dengan gamar tokoh PKI misalnya Karl Marx, Lenin serta Stalin.
Tapi ketegangan makin hari makin bertambah. Menjelang pemberontakan PKI terjadi perpecahan internal dengan sosok seperti Tan Malaka. Ini lebih gegera karena para pengurus PKI kala itu melihat dia berubah haluan: lagi-lagi tak terlalu revolusiner. Sebelum itu pihak Komunis Internasional yang berpusat di Moskow marah karena Tan Malaka mengusulkan agar gerakan komunis menggandeng gerakan Islam ketika melawan penjahan. Perbedaan ini makin memuncak setelah Tan Malaka tidak setuju bila pada tahun 1926 PKI melakukan pemberontakan dengan alasan konsolidasinya belum kuat.
Dan setelah pemberontakan tersebut gagal, ternyata suasana persaingan antara Islam dan gerakan komunis masih terus berlangsung. Imbas lain, setelah peristiwa pemberontakan 1926 gagal, kala itu PKI kemudian menjadi partai terlarang dan para kadernya diawasi secara ketat oleh pemerintah Hindia Belanda. Dan situasi ini jelas menguntungkan bagi aktivis Islam yang lebih bisa bergerak leluasa karena bukan partai yang terlarang.
Situasi ini terus berlanjut hingga zaman Jepang. Waku itu umat Islam bahkan mendapat angin yang cukup. Para ulama oleh Jepang dimanfaatkan pengaruhnya sebagai basis kekuatan massa di dalam ikut serta memenangkan perang Asia Timur Raya. Situasi ini lagi-lagi berbeda dengan yang diterima kader komunis karena mereka terus diawasi dan menjadi partai terlarang. Muso yang salah satu tokoh komunis yang terlibat pemberontakan PKI Madiun akhirnya tetap memilih berada di Uni Sovyet dari pada pulang ke Jawa. Dia tahu bahwa situasi belum kondusif.
Angin segar kepada gerakan Islam kian menjadi ketika para tokoh Islam oleh pemerintah Jepang dibiarlan mulai menggagas organisasi politik yang kelak menjadi Partai Masyumi. Islam semakin mendapat angin karena mereka kemudian mendapat kesempatan duduk di lembaga yang oleh Jepang disebut sebagai lembaga untuk mempersiapkan datangnya kemerdekaan: BUPKI. Akibatnya, di lembaga ini nantinya hanya ada dua kelompok yakni nasionalis dan Islam saja. Kelompok sosilias tak ada karena kala itu melakukan gerakan bawah tanah alias tak mau bekerja sama dengan pemerintah Jepang. Aktivis komunis tak ada di keanggotaan BPUPKI karena partai ini masih dalam status di larang.
Akibat situasi ini maka masuk akal kemudian kecemburuan dan sikap panas atas persteruan lama antara kaum komunis dan Islam meninggi. Elit politik kala itu tahu rapat-rapat pendirian embrio Masyumi ada di Pesantren Takeran Madiun. Maka wajar kiranya ketika pemberontakan PKI di Madiun, Musso bersama gerombolannya menarget pesantren ini sebagai 'sarang' lawan yang harus dihancurkan.
- Keterangan foto: Musso yang tertembak di dekat sebuah toilet umum di sekitar Madiun.
Pengaruh pesantren Takeran sebagai kekuatan politik Islam atau embrio Masyumi, diakui oleh Pengasuh Pondok Pesantren Sabilil Mutaqin (PSM), KH Zakaria. Dalam sebuah percakapan di sautu sore bebera tahun silam, dia mengakui bila pesantrennya menjadi target penghancuran PKI yang kalla itu dupimpin Musso.
“ Saya yang melihat langsung peritiwa pada 17 September tahun 1948 itu, baru di kemudian hari sadar bila penculikan kyai dan pengepunan pesantren kami bukanlah aksi biasa yang tanpa tujuan. Para kader PKI kala itu benar-benar sudah mempersiapkannya dengan matang. Ini terbukti hanya dalam waktu singkat para pemberontakan tersebut mampu menguasai wilayah yang cukup luas, yakni meliputi Madiun, Magetan, Ponorogo, Pacitan, Trenggalek, Ngawi, Purwantoro, Blora, Pati, Cepu, dan Kudus. Jadi jelas ada persiapan matang mengingat pesantren kami adalah pusat gerakan Islam kala itu. Mereka pasti tahu di sinilah rapat-rapat awal Masyumi diselenggarakan,’’ katanya.
Lagi pula, lanjutnya sebelum meledak peristiwa pemberontakan itu, di sekitar Takeran beterbaran aneka pamflet tentang Muso yang kala itu baru pulang dari Moskow. ‘’Jadi pesantren Takeran dipilih untuk diserbu karena saat itu menjadi tempat atau basis pergerakan Islam. Kiai kami, Kiai Mursyid mau diajak berunding dan bersedia dibawa pergi oleh orang-orang berpakaian merah —dan kemudian hilang— karena sudah tahu pesantrennya terancam akan dibakar,'' tegas Zakaria.
Keterangan foto: Pengasuh Pondok Pesantren Sabilil Mutaqin (PSM), KH Zakaria.