REPUBLIKA.CO.ID, Kupang (ANTARA) - Praktik "kawin tangkap" di Pulau Sumba kembali terjadi beberapa pekan terakhir. Ketua DPRD Nusa Tenggara Timur Emilia Nomleni meminta atas nama apapun harus segera dihentikan karena merupakan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
"Bagi saya praktik kawin tangkap atas nama apapun harus segera dihentikan karena ini merupakan tindakan melanggar hukum dan merupakan kekerasan terhadap perempuan dan anak," kata Emilia, Senin (22/6).
Ia mengatakan bahwa bisa saja praktik kawin tangkap di Sumba itu tidak hanya terjadi pada perempuan, tetapi juga pada anak. Karena memang tidak pernah tahu perempuan-perempuan yang diculik saat sedang berada di tempat umum atau di tempat kost itu perempuan yang masih di bawah umur.
Kawin tangkap bagi masyarakat di pedalaman Pulau Sumba, seperti di wilayah Kodi dan juga Wawewa menganggap hal tersebut ada budaya turun temurun yang tak bisa dihilangkan. Walaupun hal tersebut merendahkan martabat kaum perempuan di daerah itu.
Politisi PDIP itu mengatakan, terjadinya kesepakatan nikah antar orang tua kedua belah pihak tanpa ada persetujuan dengan anak perempuannya saja sudah melanggar hukum. Apalagi ini dilakukan tanpa ada persetujuan antar orang tua dan si perempuan yang diculik.
Emi menambahkan bahwa sebenarnya masalah kawin tangkap ini sudah dibicarakan dengan seluruh anggota dewan sejak sebelum adanya pandemi Covid-19.
"Waktu itu saya sempat minta sama sama teman-teman di DPRD akan bersama-sama mencari jalan keluar dari praktik tersebut, namun pembahasan soal kawin tangkap di Sumba itu karena adanya pandemi Covid-19 ini," ujar dia.
Ketua DPD PDIP NTT itu menambahkan bahwa masyarakat NTT sendiri pada umumnya sangat menjunjung tinggi akan budaya, karena hal tersebut adalah warisan nenek moyang. Namun jika budaya warisan itu justru salah dan lebih banyak merugikan banyak orang maka harus dihilangkan seperti yang terjadi dengan praktik "kawin tangkap" itu.
Emi juga menambahkan untuk menghentikan praktik tersebut, semua pihak harus berperan, mulai dari pemerintah daerah, wakil rakyat, tokoh agama, tokoh masyarakat serta sesepuh yang ada di pulau Sumba tersebut.
Pernyataan penolakan juga muncul dari anggota Komisi IX DPR RI Ratu Ngadu Bonu Wulla yang berasal dari daerah pemilihan Sumba. "Saya sebagai seorang perempuan dan juga berasal dari Sumba saya tidak setuju dengan budaya ini jika dipertahankan karena memang sangat berdampak buruk pada kaum perempuan di Sumba," kata Ratu Ngadu.
Politisi Nasdem itu mengatakan apa yang dilakukan itu justru bagian dari merampas hak hidup dari kaum perempuan di daerah itu.