REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asuransi syariah perlu mewaspadai sejumlah hal di tengah kondisi tak menentu tahun ini. Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI), Erwin Noekman menyebut termasuk diantaranya adalah dari sisi tata kelola perusahaan dan kinerja.
Dari sisi tata kelola, perusahaan perlu terus memenuhi unsur good corporate governance (GCG) dan kesesuaian syariah. Untuk itu diperlukan pemberdayaan Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang wajib mempunyai kompetensi untuk melakukan pengawasan di perusahaan asuransi syariah.
Selain itu dari sisi kinerja, perusahaan juga perlu mewaspadai adanya potensi gagal bayar. Meski demikian, Erwin meyakini, dengan mekanisme dan peraturan yang ada, risiko gagal bayar di perusahaan asuransi syariah dapat dikatakan minim.
"Sejak awal, sudah ada pemisahan dana antara dana perusahaan dengan dana peserta asuransi yang disebut dana tabarru," katanya kepada Republika.co.id, Rabu (1/7).
Karena pemisahan ini, masing-masing mempunyai aturan tersendiri. Misalnya, pembayaran klaim atau manfaat tidak menggunakan dana perusahaan. Sebaliknya, biaya-biaya promosi dan operasional bukan menjadi beban dana tabarru. Dana milik peserta aman.
Apabila memang perusahaan mengalami kesulitan, misal dari sisi likuiditas atau solvabilitas, maka diperlukan qardh atau dana talangan. Qardh ini sebenarnya merupakan early warning system sebelum perusahaan benar-benar tidak mampu memenuhi kewajibannya.
Kedepan, industri akan lebih banyak melakukan kampanye dan kolaborasi dengan berbagai pihak untuk meningkatkan kinerja. Salah satu rencana terdekat juga asosiasi akan meminta kesediaan Wakil Presiden Maruf Amin untuk menjadi Ketua Dewan Penasehat AASI.
"Langkah ke depan, AASI berencana untuk menggiatkan dan meningkatkan sinergi dengan lembaga-lembaga lain," katanya.