REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Oleh Akhmad Khoirul Fahmi, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Unsoed dan Pengurus Pesanten al Azhari, Banyumas.
Masa demokrasi Liberal tahun 1950-an dapat dijadikan cermin bagaimana aspirasi politik islam dalam berbagai ranah hendak diperjuangkan. Tidak seperti posisi Diponegoro –dalam posisi kalah perang— ranah Majelis Konstituante justru suatu amanat dalam sidang sidang BPUPKI yang belum tuntas. Optimisme menguat. Hal inilah yang diperjuangkan aspirasi kalangan santri di pada saat itu, sekalipun terganggu dengan gerakan DII TII dalam aspirasi dengan cara lain yang justru kontraproduktif.
Seperti diketahui, Masyumi, terutama melalui M Natsir konsepsi dasar negara Islam telah disampaikan dalam dewan konstituante. Pendapat Natsir ini juga disokong semua faksi Islam di Konstituante. Pertentangan berbagai konsepsi akhirnya justru mengkerucut pada dua kubu: kubu Islam dan kubu Pancasila. Inilah yang di kemudian hari, hingga hari ini selalu dipahami kontradiksi antara konsepsi Islam dan konsepsi Pancasila. padahal dalam perjuangan konsepsi politik, sesuatu berlangsung sangat dinamis. Berbagai kondisi baik di dalam sidang, maupun kondisi negara sangat berpengaruh.
Secara sederhana, perjuangan konsepsi konstituonalisme Islam mengalami gradasi dari upaya menerapkan hukum islam secara keseluruhan (dasar negara islam), upaya mengembalikan kesepakatan pada Piagam Jakarta dengan tujuh kata, kompromi dalam agar interpretasi Pancasila tidak mengarah pada rumusan sekuler.
Faksi Islam yang dimotori Masyumi, tidak menolak Pancasila. Artinya, konsepsi formalisasi dasar negara Islam di mana, sebelum persidangan di titik akhir, konsepsi Islam sebagai dasar negara dengan merujuk pada pemahaman pencarian dasar negara, faksi Islam tidak memaksakan konsepsinya. Gradasi terendah dengan menerima secara simbolik pernyataan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyebutkan Piagam Jakarta itu menjiwai UUD 1945.
Namun, peryataan itu tidak menyertakan tafsir apa pun, sehingga dalam realitasnya dianggap konsideran yang tidak berhubungan dengan diktum hukum yang akan dilegislasi kemudian.
Upaya kompromi terakhir dari faksi islam dalam konstituante adalah menjaga Bahkan setelah era Orde Baru—setelah sebelumnya era Orde Demokrasi Terpimpin—yang sama-sama otoritarian, mulailah muncul kalangan akomodasionis, yang mana tidak terlalu mempersoalkan tentang debat ideologi kenegaraan. Akan tetapi, bagaimana lebih penting untuk ikut dalam proses memengaruhi kebijakan politik negara dan birokrasi secara langsung.
Dunia politik bergerak sangat dinamis, bahkan liar. Politik memungkinkan kesepakatan-kesepakatan untuk kompromi-kompromi ideologis. Di lain hal, dunia politik juga mengenal asas pragmatisme dan oportunisme. Pragmatisme melihat sesuatu tidak dari segi falsafahnya, tapi dari segi sebab dan akibat, adalah baik dan positif.
Oportunisme, bahkan tidak mempunyai asas, selalu cuma memperhitungkan keadaan dan menunggu-nunggu kemungkinan yang baik untuk semata keuntungan material.
Kalangan akomodasionis bergerak dalam wilayah semacam ini. Pengalaman sejarah terlalu kaku dengan suatu prinsip ideologi menjadikan suatu sikap ideologi dikatakan keras kepala, intoleran hingga akan mengganti dasar negara. Sesungguhnya pengalaman Masyumi dan Prawoto Mangkusasmito menjadikan perjuangan ideologi adalah ranah berpikir falsafah dan program yang disesuaikan dengan realitas yang ada.