REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wilayah Sahel Barat di benua Afrika menjadi medan pertempuran bagi kelompok-kelompok yang bersaing untuk hegemoni atas wilayah tersebut. Pada bulan Mei, Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di korannya Al-Naba mengklaim bentrok dengan afiliasi Al-Qaeda bernama Jamaat Nusrat al-Islam wal-Muslimin (JNIM).
ISIS menuding JNIM memulai pertempuran sengit dan mobilisasi pasukan untuk merebut wilayah dari kendali IS. Sejak tahun lalu telah terjadi lonjakan serangan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ini terhadap satu sama lain. Sebaliknya, ada beberapa laporan yang mengklaim adanya kerjasama operasional dan organisasi antara kelompok-kelompok tersebut, meskipun belum ada bukti nyata untuk mendukung hal ini.
Selain dua pemain utama ISIS di Greater Sahara (ISGS) dan Al-Qaeda di Islamic Maghreb (AQIM), ada pula kelompok teror kecil dan milisi suku yang muncul di seluruh wilayah. Tren baru-baru ini di wilayah tersebut mencerminkan bahwa, karena kurangnya sumber daya dan dana, mereka membelot ke pemain utama, IS dan Al-Qaeda.
Kecenderungan pembelotan ini memicu ISIS dan Al-Qaeda meningkatkan kekuatan mereka di wilayah tersebut. Sahel pun mengalami lonjakan aktivitas teroris; kondisi dukungan internasional dan pengucilan sosial daerah membuat situasi semakin buruk.
Prashant Kandpal dalam Geopolitical Monitor yang diunggah Eurasiareview.com menjelaskan bahwa sejarah AQIM bermula pada Perang Saudara Aljazair tahun 1992. Selama pemilihan presiden pada 1992, Front Islamique du Salut (FIS, Front Keselamatan Islam) berada di ambang kemenangan. Untuk mencegah partai Islam memenangkan pemilu, militer melakukan kudeta dan membatalkan putaran kedua pemilihan Parlemen.
Sementara, para ekstremis Islam FIS mengajukan perang penuh terhadap rezim Aljazair dan membentuk kelompok bersenjata Islam, Armee Islamique du Salut (AIS), dengan kekuatan sekitar 4.000 pasukan.
Ekstremis Islam tertentu yang tidak mendukung FIS bergabung dengan berbagai gerilyawan jihad dan membentuk kelompok yang dikenal sebagai Groupe Islamique Armé (GIA), dengan kekuatan sekitar 2.000-3.000 pasukan.
Pada Oktober 1992, banyak kelompok teroris yang berdiri tanpa struktur komando pusat, memulai teror terhadap pemerintah. Namun, teror mereka direspons militer dengan brutal, dan mengarah ke perang saudara.
Dari 1992-1998 Aljazair terlibat dalam pertempuran sengit antara pemberontak dan pasukan pemerintah. Perang ini menyebabkan jatuh korban sekitar 150 ribu, kebanyakan dari mereka adalah warga sipil. Konflik internal antar kelompok dan tanggapan dari pasukan pemerintah menghancurkan berbagai kelompok teror besar menjadi kelompok kecil.
Pada akhirnya, banyak kelompok teror bernegosiasi dengan pemerintah; yang lain yang tidak patuh melarikan diri dari negara itu dan berlindung di daerah terpencil Mali utara. Pada 1998, Hassan Hattab, komandan salah satu unit GIS yang terfragmentasi, membentuk organisasinya sendiri yang disebut Groupe Salafiste pour la Prédication et le Combat (GSPC, Grup Salafi untuk Pengabaran dan Memerangi).
Delapan tahun kemudian, kepemimpinan GSPC terhubung ke ranah global dengan membentuk hubungan dengan Al-Qaeda, kemudian menjanjikan kesetiaan publik kepada Bin Laden pada September 2006. Beberapa bulan kemudian, mereka mengganti nama mereka sendiri Al-Qaeda di Maghreb Islam.
Pada 2015, Al-Mourabitoun, salafi lokal, yang sebelumnya merupakan cabang AQIM, bergabung kembali setelah periode konflik internal. Pada 2017, AQIM mengumumkan pembentukan Jamaat Nusrat al-Islam wal Muslimeen (JNIM) setelah menggabungkan Ansar Al-Dine dan Al-Mourabitoun. JNIM saat ini bekerja di bawah arahan AQIM dan pusat Al-Qaeda.