Di masa puncak perang narkoba di Filipina, penduduk di kawasan kumuh Navotas di ibu kota Manila terbiasa menyaksikan aksi penggerebekan tengah malam terhadap tersangka pengedar narkoba, yang seringkali berujung kematian.
Navotas termasuk kawasan yang paling terdampak wabah corona. Kini penduduk mengkhawatirkan aparat akan kembali bertindak agresif dan memindahkan warga ke pusat penampungan pasien COVID-19 secara paksa. Beberapa menamakan rencana pemerintah sebagai "Tokhang Jilid 2," yang merujuk pada nama operasi anti narkoba oleh kepolisian Filipina.
"Kami takut terhadap penggerebekan dari rumah ke rumah. Kami tidak tahu apa yang akan dilakukan polisi atau tentara terhadap kami," kata Crisanto dela Cruz, seorang supir berusia 46 di Navotas. "Saat yang sama kami juga takut tertular karena kami harus bekerja di luar."
Sejak tanggal 1 Juni lalu angka penularan sudah meningkat tiga kali lipat, lapor Kementerian Kesehatan. Untuk mengatasinya pemerintah meminta otoritas lokal dan kepolisian memindahkan pasien COVID-19 dari kediaman pribadi ke pusat penampungan. Pemerintah juga meminta warga melaporkan tetangga yang tertular dan bersembunyi dari aparat.
Jurubicara Presiden Rodrigo Duterte, Harry Roque, memastikan kunjungan ke rumah akan dilakukan oleh petugas kesehatan, bukan aparat keamanan. "Keberadaan polisi hanya untuk membantu proses pemindahan pasien." Dia menambahkan setiap warga yang diduga kuat mengidap virus corona akan dipindahkan secara paksa, "jika dibutuhkan."
Harry berjanji pasien "tidak akan diperlakukan sebagai kriminal." Pemerintah berdalih, kunjungan dari rumah ke rumah diperlukan untuk memindahkan pasien yang tinggal di hunian kecil, lantaran dianggap akan kesulitan menjalankan karantina diri.
Perbanyak jumlah tes
Namun demikian oposisi dan organisasi HAM mengritik kewenangan kepolisian dalam kampanye anti-corona serupa dengan perang narkoba. Senator Franklin Drilon mengatakan polisi selama ini bertindak agresif. Menurutnya tidak perlu menggunakan "langkah-langkah fasis untuk memaksakan kepatuhan."
Adapun lembaga bantuan hukum Filipina, National Union of People's Lawyers, menyebut rencana pemerintah sebagai "cara lain untuk menabur rasa takut di masyarakat."
"Bagaimana kita bisa memastikan polisi tidak akan menyalahgunakan kewenangan mereka?," tukasnya.
Pendekatan yang lebih layak adalah menggiatkan tes dan pelacakan rantai penularan. Saat ini hanya 0,9% populasi yang sudah dites. Dua pertiga di antaranya baru dilakukan usai pemerintah melonggarkan pembatasan sosial pada 1 Juni lalu.
Kasus penularan di Navotas sendiri meningkat dari 286 pada akhir Mei, menjadi 906 pada 16 Juli. Akibatnya pemerintah menurunkan aparat bersenjata berseragam sipil untuk memaksakan karantina wilayah. "Kan kita tidak sedang darurat sipil. Jadi polisi tidak diperlukan untuk menyisir dari rumah ke rumah," kata Arvin Provito, warga Navotas.
"Yang seharusnya mereka lakukan adalah melakukan tes dari rumah ke rumah."
rzn/ml (Reuters)