REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Harga minyak turun tipis pada akhir perdagangan Rabu (22/7), setelah melambung sehari sebelumnya. Penurunan harga tertekan data pemerintah yang menunjukkan kenaikan mengejutkan dalam persediaan minyak mentah AS dan ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan China yang kian meningkat.
Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman September turun tiga sen menjadi ditutup pada 44,29 dolar AS per barel. Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman September kehilangan dua sen menjadi menetap di 41,90 dolar AS per barel.
"Persediaan minyak mentah dan sulingan AS naik secara tak terduga, sementara permintaan bahan bakar tergelincir dalam pekan terakhir," kata Badan Informasi Energi AS (EIA) pada Rabu (22/7). Hal itu disebabkab oleh peningkatan tajam dalam kasus virus corona telah mulai memukul konsumsi AS.
Persediaan minyak mentah naik 4,9 juta barel dalam sepekan hingga 17 Juli menjadi 536,6 juta barel, dibandingkan dengan ekspektasi dalam jajak pendapat Reuters untuk penurunan 2,1 juta barel. Produksi naik 100.000 barel menjadi 11,1 juta barel per hari.
"Secara keseluruhan, ini akan menunjukkan bahwa pemulihan permintaan yang kami lihat dari bawah tampaknya macet," kata Phil Flynn, analis senior pada Price Futures Group di Chicago.
Presiden Donald Trump mengatakan pada Selasa (21/7) bahwa wabah mungkin akan memburuk sebelum membaik. Pernyataan ini berbeda dengan sebelumnya yang kuat pada pembukaan kembali ekonomi.
Bjornar Tonhaugen, kepala pasar minyak Rystad Energy, mengatakan komentar Trump mungkin disambut baik oleh investor karena mereka adalah yang paling diukur olehnya atau pemerintahannya sejauh ini. “Ini bisa menjadi positif bagi prospek permintaan minyak. Alih-alih gelombang penguncian kedua yang tidak terkontrol dan mengganggu, mungkin sekarang ada peluang bahwa Amerika Serikat pada akhirnya akan mendapatkan penyebaran terkendali,” kata Tonhaugen.