Ahad 26 Jul 2020 17:05 WIB

Klepon: Dari Singkek Rentenir Sampai Hidangan Hari Lahir

Tak makan klepon di Indonesia seperti ke Paris tapi tidak menikmati keju.

Kue Klepon.
Foto: Surya Dinata/Republika TV
Kue Klepon.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyantono Oemar

Klepon pernah membuat heboh pada 1939. Koran-koran di Surabaya, Semarang, Jakarta, dan Medan memberitakannya. Bahkan koran di Belanda pun ikut memberitakannya, karena kasus ini diangkat di sidang Volksraad.

Namun, klepon yang dibahas saat itu bukan klepon nama makanan, melainkan nama desa di Blitar, Jawa Timur. Kisahnya bermula dari koran Pelita Tionghoa yang menurunkan tulisan dengan judul “Satu Hinaan Bagi Bangsa Tionghoa”. Laporan yang terbit pada 21 Januari 1939 itu membahas peringatan tertulis: Tjina en Singkek tida boleh masoek di kampoeng perceel Klepon.

Singkek sebutan untuk orang-orang Cina yang lahir di Cina dan datang di Hindia Belanda. Di Klepon beroperasi perusahaan perkebunan Handelsvereniging Amsterdam (HVA).

Anggota Volksraad Han Tiauw Tjong pun mempermasalahkan hal ini di sidang Volksraad 30 Januari 1939. Jika laporan Pelita Tionghoa itu benar, kata Han Tiauw Tjong, penolakan akses terhadap kelompok tertentu itu bisa menyinggung kelompok itu. Karena itu, ia meminta pemerintah menghapusnya.

Sebelumnya, menurut laporan De Locomotief 25 Januari 1939, orang-orang Cina melayangkan protesnya ke administrator HVA di Klepon dan ke kantor HVA Surabaya. Mereka meminta peringatan tertulis itu dicabut dan jika tak dipenuhi mereka akan melaporkannya ke kejaksaan. Peringatan tertulis itu dipasang di dekat Garum, jalan menuju perkebunan milik HVA di Klepon.

Tak kurang dari Algemeen Handelsblad, De Locomotief, De Sumatra Post, Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie, Indische Courant, dan Soerabaijasch Handelsblad, melaporkan kasus itu pada Januari-Februari 1939 dan September 1939. Di Amsterdam ada De Tijd yang menurunkan laporannya pada 28 September 1939.

Bagaimana bisa ada peringatan tertulis di Klepon itu? Diduga peringatan serupa juga ada di daerah-daerah lain karena banyaknya praktik pemberian kredit dengan bunga tinggi –250 persen-- yang biasa disebut mindering. Di Jawa, tak hanya orang Cina yang memberikan pinjaman, melainkan juga orang Arab.

Locomotief menduga peringatan itu dipasang beberapa tahun lalu untuk melindungi kuli perkebunan dari kerugian akibat praktik lintah darat (woeker). Yang menjalankan kegiatan ini orang-orang Cina dan singkek. Ada sebutan singkek mindering, yaitu sebutan untuk orang-orang Cina yang menjual barang dengan sistem cicil dan pemberian pinjaman dengan bunga tinggi.

Peringatan itu, menurut De Tijd, merupakan prasasti yang dipasang pada 1928. Ini berawal dari banyaknya praktik ceti yang merugikan petani. Ceti adalah sebutan untuk orang-orang Cina yang masuk ke desa-desa memberikan pinjaman kepada para petani untuk modal tanam. Istilahnya beli di muka alias ijon, tapi hasil panen tak akan menutupi jumlah pinjaman berikut bunganya.

Menurut Twang Peck Yang, para ceti ini mengenakan bunga pinjaman yang cukup tinggi. Pada 1930, seperti ditulis Twang Peck Yang di buku Elite Bisnis Cina di Indonesia tercatat ada 5.336 (sebanyak 4.342 asli Cina) di Jawa. Di luar Jawa tercatat ada 347 ceti.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement