Selasa 28 Jul 2020 00:02 WIB

Syarikat Islam Minta Kesetaraan Ormas dalam Fatwa Halal

Syarikat Islam meminta agar jangan MUI saja yang memberi fatwa halal.

Red: Joko Sadewo
Ketua Umum Syarikat Islam Hamdan Zoelva
Foto: RepublikaTV/Fakhtar Khairon Lubis
Ketua Umum Syarikat Islam Hamdan Zoelva

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ormas Syarikat Islam (SI) meminta Rancangan Undang-Undang Cipta Karya, khususnya berkenaan dengan ketentuan Jaminan Produk Halal, agar ditinjau ulang. Menurut SI, hanya satu ormas yaitu MUI yang disebut di RUU itu membuat menciptakan ketidaksetaraan posisi di antara ormas Islam di Indonesia.

Dalam siaran pers resminya, yang diterima Republika.co.id, Senin (27/7) SI menyebutkan bahwa berdasarkan Pasal 7 UU No.33 Tahun 2014 menjelaskan 3 (tiga) pihak dalam penyelenggaraan jaminan produk halal di Indonesia, yakni: Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama Republik Indonesia sebagai regulator dan penerbit sertifikat halal; Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang bertugas memeriksa kehalalan suatu produk; dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai pemberi fatwa halal, dan bekerja sama dengan BPJPH dalam sertifikasi auditor halal dan akreditasi LPH.

Ketua Umum DPP SI, Hamdan Zoelva mengatakan SI memandang perlu dilakukannya perubahan materi hukum di dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Karya, khususnya berkenaan dengan ketentuan prosedur Jaminan Produk Halal terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU-JPH).

Pertama, memperhatikan beberapa pasal terkait, Syarikat Islam berpandangan bahwa ketentuan-ketentuan pada Pasal 7, Pasal 10, Pasal 13, Pasal 14 ayat 2 huruf (f) Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU-JPH) perlu ditinjau ulang agar dapat menciptakan kesetaraan posisi di antara Ormas Islam.

Penyebutan nama salah satu ormas, menurut SI, sangat menciderai prinsip kesetaraan tersebut. Hal ini menimbulkan state favoritism dalam memandang ormas-ormas Islam. Tentunya hal ini harus diperbaiki dengan melibatkan seluruh ormas Islam berbadan hukum, terlebih Ormas Islam yang sudah ada sebelum Republik ini ada, dan bahkan memberikan inspirasi dan berjuang untuk kemerdekaan.

Kedua, Syarikat Islam memandang bahwa kewenangan dalam proses penentuan dan penetapan kehalalan produk yang dikonsumsi masyarakat bangsa tidak hanya kepada Majelis Ulama Indonesia. Idealnya adalah melibatkan Ormas-ormas lainnya agar terjadi kerja sama yang saling mendukung dalam semangat kebajikan dan taqwa.

Ketiga, Terkait dengan kedudukan MUI yang dalam kesejarahannya dibentuk dan didirikan oleh 10 (sepuluh) Ormas Islam dan lembaga kerohanian lainnya, maka pengertian “Ormas Islam yang Berbadan Hukum” yang berwenang membentuk LPH-LPH sebagaimana maksud UU JPH diberi batasan yaitu adalah berdasarkan pertimbangan MUI bersama-sama Ormas Islam pendiri MUI.

Keempat, MUI bersama Organisasi Kemasyarakatan Islam dimaksudkan di atas mempunyai kewenangan yang sama untuk menetapkan fatwa kehalalan produk, memberikan sertifikasi auditor halal, dan akreditasi LPH bersama-sama BPJPH.

Kelima, Syarikat Islam setuju dengan diberikan kewenangan self-declair kepada pelaku UMKM untuk menetapkan sendiri kehalalan produknya, dengan juga menerapkan dan menegakkan sanksi-sanksi hukum terhadap produk-produk yang memalsukan kehalalannya. Syarikat Islam berpendapat bahwa self-declair ini haruslah tetap ter-register dan dalam pengawasan dari LPH.

Keenam, Syarikat Islam memandang bahwa dengan adanya self-declair bagi UMKM dan semakin banyaknya LPH yang memiliki tanggung jawab, akan semakin baik bagi ummat dan semakin baik pula bagi tumbuhnya industri halal di Indonesia.

Urusan sertifikat halal tidak boleh dipandang sebagai urusan bisnis LPH, tetapi harus dilihat sebagai urusan ummat yaitu kenyamanan ummat memakan atau menggunakan produk halal, dan urusan kemajuan ekonomi ummat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement