REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Pemilihan presiden “ngawur” Suriah yang akan digelar tahun depan “harus diabaikan,” ujar lembaga think tank yang berbasis di Washington DC pada Jumat.
Dalam unggahan di situs web Dewan Atlantik, Jomana Qaddour dan Danny al-Baaj berpendapat, “ada terbatas cara untuk menstabilkan Suriah selama” Bashar al-Assad tetap berkuasa.
Keduanya menambahkan bahwa kepemimpinan Assad berupa “negara keamanan” yang melanjutkan “teror terhadap orang-orang Suriah di dalam negeri maupun para pengungsi yang berusaha untuk pulang”.
“Teror ini berkontribusi langsung pada pencucian otak yang tengah terjadi, memperburuk pelemahan ekonomi Suriah saat ini,” tulis mereka.
“Rezim menerapkan undang-undang plin-plan dan sewenang-wenang dengan mengorbankan stabilitas, juga menggunakan hukum penzonaan demi menyita properti para pembangkang atau untuk memenjarakan kembali bekas pejuang yang telah melakukan rekonsiliasi. Keluhan akibat tindakan ini berpotensi untuk memunculkan kembali kekerasan di negara itu.”
Rezim Suriah menggelar pemilihan parlemen 19 Juli. Dalam kontestasi itu oposisi tidak berpartisipasi dan menganggapnya sebagai tipuan. Selain itu, lebih dari separuh populasi pra-perang Suriah tidak berpartisipasi.
Sekitar 22 juta orang itu harus mengungsi atau terbunuh dalam konflik yang berlangsung hampir 10 tahun. Sementara rezim dan Rusia “enggan” berpartisipasi dalam perundingan yang dimediasi PBB soal konstitusi Suriah baru.
“Secara bersamaan mereka mengisyaratkan bahwa kemajuan kerja komite tidak akan berpengaruh pada pemilihan presiden Suriah 2021, dengan konstitusi baru yang mulai berlaku setelah kontestasi,” tulis Qaddour dan al-Baaj.