REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Dewan Pertahanan Tertinggi Lebanon menyatakan keadaan darurat selama dua pekan dan tiga hari berkabung nasional, serta bersumpah untuk menyelidiki insiden ledakan dan memberikan kompensasi kepada para korban. Pemerintah juga memerintahkan peningkatan kapasitas pelabuhan di kota utara Tripoli untuk menangani impor dan mencegah kekurangan.
Perdana Menteri Lebanon Hassan Diab bersumpah akan meminta pertanggungjawaban kepada pihak yang berada di balik ledakan besar di pelabuhan Beirut. "Apa yang terjadi hari ini tidak akan berlalu tanpa pertanggungjawaban," kata Diab dilansir Middle East Eye, Rabu (5/8).
Dalam pidatonya, Diab, yang telah menjabat sejak Februari, juga meminta bantuan masyarakat internasional. "Saya mengirim seruan mendesak ke semua negara yang berteman dan bersaudara dan mencintai Lebanon, untuk berdiri di sisinya dan membantu kami mengobati luka yang dalam ini," kata dia.
Turki, Qatar, Kuwait, dan Prancis semuanya menawarkan untuk mengirim bantuan atau membantu negara itu. Sementara gerakan Hizbullah yang kuat mendesak faksi-faksi politik lawan untuk bersatu dan mengatasi bencana yang menyakitkan itu.
Ledakan besar terjadi di sebuah gudang di pelabuhan Beirut Libanon pada Selasa (4/8) petang waktu setempat hingga menewaskan 73 orang. Selain itu, akibat peristiwa ini lebih dari 3.700 orang lainnya mengalami cedera, menurut pernyataan Kementerian Kesehatan Lebanon.
Kementerian tersebut menyampaikan jumlah korban diperkirakan bisa bertambah mengingat masih banyak orang yang belum ditemukan. Ledakan itu membuat pelabuhan seperti tanah gersang dan menyebabkan kerusakan pada bangunan-bangunan di seluruh ibu kota. Apalagi guncangan yang terasa sampai ke Siprus.
Menurut Dewan Nasional untuk Penelitian Ilmiah, sebuah gudang yang mengandung amonium nitrat, bahan yang sangat eksplosif digunakan untuk pupuk, adalah sumber insiden tersebut. Disebutkan pula bahwa ada 2.750 ton material disimpan di gudang selama enam tahun tanpa keamanan.