Sabtu 08 Aug 2020 03:00 WIB

Politik Islam Kini, Ancaman Barat atau Justru Melemah? 

Politik Islam di mata sarjana Barat justru semakin pudar dengan sendirinya.

Rep: Nugroho Habibi/ Red: Nashih Nashrullah
Politik Islam di mata sarjana Barat justru semakin pudar dengan sendirinya. Ilustasi umat islam.
Foto: Republika/Yasin Habibi
Politik Islam di mata sarjana Barat justru semakin pudar dengan sendirinya. Ilustasi umat islam.

REPUBLIKA.CO.ID, Menciptakan negara Islam di bawah payung hukum Islam atau Syariah dalam segala format merupakan dambaan jutaan umat Islam di seluruh dunia. Politik Islam yang juga dikenal sebagai fundamentalisme Islam di Barat merupakan fenomena dunia arus utama.

Menurut Zabihullah, seorang magister di Universitas Iqra Islamabad dalam laporannya yang dipublikasikan Eurasia Review menjelaskan, alasan umat Muslim yang ingin mendirikan negara Islam, menurutnya, Muslim memiliki masa lalu yang mulia dengan kemajuan pemerintahan, teknologi, sosial dan budaya. Namun, kini, mereka hidup dengan berkiblat ke Barat dalam banyak aspek.

Baca Juga

Selain itu, umat Islam juga dinilai kehilangan jalan hukum Islam. Sehingga, untuk mengembalikannya jalan itu, perlu kembali mendapatkan kejayaan masa lalu untuk menerapkan hukum Islam sejati.

Politik Islam merupakan kebangkitan nilai-nilai Islam kontemporer dalam kehidupan publik dan pribadi. Islamis menganggap, Politik Islam sebagai sistem alternatif pemerintahan melawan sistem Barat dan ideologi demokrasi, kapitalisme, sosialisme.

Peristiwa yang datang di bawah bayang Politik Islam merupakan penciptaan Pakistan pada 1947, perang Arab-Israel tahun 1947, 1956, 1967, penciptaan Jammat-I-Islami oleh Mawlana Abu Ala Al-Mawdudi, revolusi Iran 1979. Kemudian, pada pertengahan 2000-an, kelompok Islamis menjadi bagian dari politik arus utama di Mesir, Lebanon, Turki, Yordania, dan Kuwait.

Perubahan Politik Islam dari nasional ke bentuk transnasional seperti yang terjadi di Afghanistan atas intervensi Soviet pada 1979. Waktu itu, pejuang kemerdekaan datang dari berbagai negara di seluruh dunia, khususnya negara-negara Muslim termasuk Pakistan, Iran, Arab Saudi hingga Mesir.

Namun, muncul kekhawatiran antara konflik demokrasi Barat dan keyakinan Muslim terhadap Islamisme. Politik Islam dipandang sebagai ancaman bagi demokrasi dan stabilitas dunia.

Dalam konteks ini, Islamis mengasumsikan bahwa mereka kehilangan identitas Islam karena berbagai negara Muslim percaya pada demokrasi Barat, mengikuti sistem pemerintahan, perbankan, sosial dan budayanya. Oleh karena itu, saat ini mereka merasa prihatin dengan jati diri, fenomena sosial dan budaya serta agamanya.

Namun, sebaliknya, Barat terus menganggap ancaman dari Politik Islam saat ini adalah ekstremisme agama atau terorisme yang sebenarnya jauh dari pendiri kelompok Politik Islam. Kelompok yang ekstrimisme Islam, sebenarnya bersifat politik dan ekonomi dengan mengemas unsur religius. Contohnya, Hamas di Palestina, penciptaan melawan Israel atau Mujahidin di Afghanistan yang merupakan ciptaan Amerika Serikat (AS) untuk keuntungan politiknya dengan dukungan Pakistan.

photo
Ilustrasi politik Islam (ilustrasi) - (ANTARA)

Sehingga, muncul dua interpretasi yang berlawanan dari dalam gerakan itu. Pertama gerakan itu disebut teroris. Kedua gerakan itu merupakan perjuangan kebebasan. 

Hamas di Palestina dianggap sebagai pejuang kemerdekaan bagi orang Palestina. Sementara, bagi orang Israel mereka adalah teroris. Pandangan itu, mengakibatkan garis antara pembebasan nasional, Politik Islam dan terorisme tak pernah pasti. 

Jocelyne Cesari, peneliti di Georgetown Berkeley Center For Religion mengungkapkan pandangannya tentang penggabungan agama dan politik. Penggabungan itulah yang menyebabkan ketidakstabilan antara Barat dan Muslim.

"Islam bukan satu-satunya masalah di luar sana, melainkan masuknya agama ke dalam politik adalah penyebab utama ketidakstabilan atau ketidakpastian," kata Jocelyne.

Jocelyne menilai, Islam tidak membutuhkan reformasi. Sebab, Politik Islam sebenarnya adalah hasil reformasi atau modernisasi. Dia memaparkan, saat ini yang dibutuhkan yakni pemahaman yang lebih baik tentang Islam dan dasar-dasarnya.

Menurutnya, Barat memiliki pandangan yang berbeda karena adanya sejumlah kelompok maupun individu yang dengan menerapkan kebijakan ekstrimis. 

Seperti, mereka yang membunuh warga sipil, ledakan bunuh diri, bom dan cara lain yang digunakan untuk keuntungan politik atau ekonomi. "Tindakan semacam itu sangat dilarang dalam Islam dan orang-orang di belakangnya tidak mewakili Muslim secara keseluruhan," tegas dia.

Barat sebenarnya dapat berdampingan secara damai dengan umat Islam. Caranya, Barat harus menerima bahwa Islam adalah agama yang damai dan harmonis dengan tidak adanya kekerasan dan terorisme. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement