REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Peranan penting istana kerajaan dan para raja di Nusantara dalam mendorong proses Islamisasi tidaklah diragukan. Dalam membahas Islamisasi di sepanjang rute laut dan peranan yang dimainkan para penguasa di hadapan rakyatnya, banyak sejarawan tidak bisa menghindari kenyataan betapa kuatnya peranan istana dan para raja tersebut.
Sejarawan AC Milner mengingatkan untuk tidak mengabaikan perhatian atas peranan mereka.
Para penguasa Asia Tenggara haruslah dilihat bahwa mereka telah memainkan peranan yang sangat penting dalam proses Islamisasi. Bahwa inovasi-inovasi dan inkalkulasi agama harus disandarkan pada mereka.
"Para raja telah berperan sentral dan memainkan karakteristik dominan di negara-negara Asia Tenggara," kata Milner, dikutip dari buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia diterbitkan Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015.
Paling tidak ada tiga alasan mengapa para penguasa dan istana harus diberi perhatian lebih dalam mengkaji proses Islamisasi yang kemudian mendorong transformasi sosial, politik dan agama.
Pertama, dimilikinya peranan istimewa dan posisi strategis mereka di hadapan rakyatnya. Dunia pandang kerajaan-kerajaan dan para rajanya di Nusantara relatif homogen, semuanya memiliki sistem penghayatan dan tradisi yang relatif seragam sebagai warisan dunia pandang tradisi lokal dengan nilai-nilai Hinduisme India.
Kerajaan-kerajaan Nusantara merupakan titik pertemuan antara tradisi-tradisi politik Jawa, Burma, Thailand dan Vietnam di satu sisi dan ide-ide politik agama India di sisi lain.
Reid menggambarkan bahwa unsur dominan kepercayaan tradisional tentang kekuasaan pada istana-istana di Nusantara bersifat spiritual. Penguasa yang kuat “mengendalikan kekuatan-kekuatan kosmis, yang tidak hanya dimediasi melalui dewa-dewa tetapi mewujudkan kehadiran dewa-dewa tersebut di bumi.
Melalui kekuasaan politik duniawi yang dikombinasikan dengan realitas kepercayaan agama, raja-raja Nusantara hadir menggantikan peranan-peranan yang dimainkan para kepala suku lokal sebelumnya. Seorang raja tidak hanya mendeklarasikan diri sebagai intermediasi antara manusia dan keberadaan Tuhan; tetapi juga mengklaim sebagai inkarnasi Bodhisatwa atau Dewa Hindu”
Dalam kasus Melayu, Milner mengatakan, sebagaimana halnya Raja Jawa, Raja Melayu juga dipercaya sebagai pemilik semua tanah di wilayahnya dan rakyatnya menyadari dirinya sebagai budak-budak Raja. Dengan demikian, orang-orang Melayu menyadari dan menggambarkan dirinya hidup tidak dalam negara atau di bawah hukum-hukum Tuhan, melainkan di bawah hukum Raja.