REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) memperingati milad ke-45 pada Jumat, 7 Agustus secara daring. MUI mengakui tantangan ke depan tidaklah ringan di era revolusi industri 4.0 dan era disrupsi. Perkembangan teknologi informasi yang pesat dan dinamis mengubah rupa kehidupan secara radikal.
Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa'adi menyampaikan derasnya informasi dan pertukaran ruang di dunia maya membuat manusia yang berinteraksi melalui media sosial lebih sering mengandalkan aspek yang bersifat emosional. Maka menurutnya, terjadilah fenomena post truth, yakni ketika situasi obyektif lebih sedikit pengaruhnya dibanding hal-hal yang mempengaruhi emosi dan kepercayaan personal dalam pembentukan opini publik.
"Post truth ini yang menyuburkan hoaks dan maraknya konten kebencian, termasuk kebencian atas nama agama. Apalagi masyarakat kita cenderung menyukai judul berita atau informasi yang bersifat provokatif dan adu domba, dan malas melakukan verifikasi atau tabayyun," kata Zainut dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id, Sabtu (8/8).
Pada skala global, Zainut menyebut Indonesia menghadapi isu perang dagang, menguatnya populisme atau identitas kelompok, serta identitas kelompok keagamaan. Penguatan identitas kelompok ini tidak hanya terjadi di kalangan Islam, namun juga terjadi pada agama lain di dunia. Zainut memandang penguatan identitas dapat berpotensi menuju eksklusivisme.
"Jika hal ini dibiarkan tanpa penanganan yang tepat, dan jika ekslusivisme tercampur dengan ideologi kebencian, maka dapat melahirkan penghalalan tindak kekerasan atas nama agama. Hoaks dan ujaran kebencian inilah yang berpotensi menimbulkan konflik horizontal internal umat beragama maupun antarumat beragama," ujar Zainut.
MUI telah menyadari fenomena ini dengan mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial. Zainut mengajak agar mengamalkan nilai-nilai Islam wasathiyah sebagai opsi terbaik menjawab tantangan zaman dalam skala lokal, nasional, maupun global.
"Islam wasathiyah akan mengafirmasi sikap dan praktik keagamaan yang memiliki komitmen kebangsaan, penghormatan terhadap kearifan lokal, toleran, dan mengutamakan praktik beragama tanpa kekerasan," ucap Zainut.