Selasa 18 Aug 2020 06:32 WIB

Tidak Ada Kemajuan dalam Penanganan Krisis Rohingya

Bangladesh mengisyaratkan rasa frustrasi dan tingkat kesabaran yang kian menipis.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
AFP/C. Mahyuddin
AFP/C. Mahyuddin

Agustus 2017 Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), menyerang 30 pos polisi dan militer di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Sebagai reaksi, operasi militer digelar untuk menumpas kelompok pemberontak yang memicu krisis kemanusiaan.

Lebih dari 700 ribu warga etnis Rohingya melarikan diri dengan melintasi Sungai Naf ke jiran Bangladesh. Mereka melaporkan tindak kekerasan brutal, pemerkosaan massal, dan pengrusakan sistematis terhadap desa serta pemukiman penduduk.

Menyusul tekanan internasional, Myanmar pada November 2017 akhirnya membuat kesepakatan repatriasi etnis Rohingya dengan pemerintah Bangladesh. Perjanjian ini merujuk pada Kesepakatan 1992 yang dibuat dengan perantara Badan Pengungsi Dunia (UNHCR). Di dalamnya Myanmar berkomitmen menampung kembali 100 ribu pelarian Rohingya yang mengungsi ke Bangladesh sejak 1959.

Namun, pada perjanjian 2017, UNHCR tidak lagi terlibat. Usai ratifikasi, kantor komisaris tinggi UNHCR mengatakan pihaknya "tidak mengetahui butir-butir perjanjian," dan mendesak agar "kepulangan pengungsi dilakukan secara sukarela dan berperikemanusiaan."