Jumat 28 Aug 2020 14:23 WIB

Bolehkah Imam Sholat Jumat Terima Amplop?

Ulama terdahulu menghukumi makruh bagi imam untuk menerima insentif dari masyarakat

Rep: Muhyiddin/ Red: A.Syalaby Ichsan
Plt Bupati Indramayu, Taufik Hidayat bersama umat Islam menggelar sholat Idul Adha di Alun-alun Kabupaten Indramayu, Jumat (31/7). Pelaksanaan sholat dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan.
Foto: Diskominfo Indramayu
Plt Bupati Indramayu, Taufik Hidayat bersama umat Islam menggelar sholat Idul Adha di Alun-alun Kabupaten Indramayu, Jumat (31/7). Pelaksanaan sholat dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan.

REPUBLIKA.CO.ID, Beberapa masjid di Indonesia biasanya menyediakan amplop atau insentif bagi imam atau khatib sholat Jumat. Pemberian insetif terhadap imam sholat Jum’at tersebut sudah muncul sejak era kerajaan Islam setelah Rasulullah wafat.

Pada saat itu, kerajaan memang menyiapkan anggaran untuk guru Alquran, para imam, khatib Sholat Jumat, para muazin, dan aktivis keagamaan lainnya. Karena telah menerima insentif dari negara, para ulama terdahulu pun bersepakat untuk menghukumi makruh bagi imam  sholat Jumat yang menerima insentif dari masyarakat.

Namun, ketika negara sudah tidak meengalokasikan anggaran untuk mereka, para ulama pun mengubah pandangan mereka. Ulama mutaakhirin membolehkan para imam atau khatib sholat Jum’at untuk menerima amplop atau insentif dari masyarakat seperti yang dijelaskan Syekh Wahbah Az-Zuhayli dalam kitab //Subulul Istifadah minan Nawazil wal Fatawa wal Amalil Fiqhi fit Tathbiqatil Mu’ashirah//, yang artinya: 

“Ulama muta’akhirin mengeluarkan fatwa mubah bagi seseorang untuk menerima insentif atas pengajaran Alquran, tugas keimaman sholat, tugas khutbah, tugas adzan, dan seluruh aktivitas keagamaan lain seperti shalat puasa, dan haji. Fatwa ini berbeda dengan hukum yang telah ditetapkan di kalangan ulama pada masa lalu seperti ulama Hanafiyah dan madzhab lainnya. Fatwa ini didasarkan pada pertimbangan perubahan zaman dan terhentinya anggaran negara (baitul mal) untuk guru agama dan mereka yang aktif pada syiar-syiar kegamaan dengan asumsi bila mereka sibuk bekerja di bidang pertanian, perdagangan, atau atau perburuhan, maka syiar-syiar keagamaan akan terbengkalai."

Nabi Muhammad Saw juga pernah mengizinkan sahabatnya untuk menerima insentif dari masyarakat atas praktik ruqyah melalui ayat-ayat Alqur’an. Seperti yang terdapat dalam hadits riwayat Imam Bukhari, yang artinya:

“Dari Ibnu Abi Mulaikah, dari Abdullah bin Abbas bahwa beberapa sahabat Rasulullah  melewati masyarakat yang bermukim di dekat sumber air di mana salah satu penduduknya tersengat binatang berbisa. Seseorang dari masyarakat setempat mendatangi mereka, lalu berkata, ‘Adakah di antara kalian yang bisa berjampi karena ada korban tersengat di air ini?’ Salah seorang dari mereka beranjak lalu berjampi dengan membaca Surat Al-Fatihah dengan upah kambing. Korban tersengat itu sembuh. Ia lalu membawa upah kambing yang dijanjikan, tetapi para sahabat Rasulullah enggan menerimanya. Mereka berkata sampai tiba di Kota Madinah, ‘Apakah kau menerima upah atas pembacaan kitabullah.’ Tiba di MAdinah, mereka mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, ia mengambil upah atas bacaan Al-Quran?’ rasulullah SAW menjawab, ‘Sesungguhnya pekerjaan berupah yang paling layak kau ambil adalah kitab Allah,"(HR Bukhari).

Berdasarkan dua dalil tersebut dapat dipahami bahwa imam atau khatib sholat Jum'at boleh menerima amplop dari masyarakat, termasuk guru Alquran, para muazin, dan aktivis keagamaan lainnya. Namun, jika negara sudah mengalokasikan dana untuk syiar keagamaan, maka makruh bagi mereka menerima amplop dari masyarakat. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement