Selasa 30 Sep 2025 13:00 WIB

Sebelum Wafat, Sahabat Nabi Ini Menyesal 3 Kali

Penyesalan itu diungkapkannya dengan ucapkan 3 kalimat berbeda.

Ilustrasi Sahabat Nabi.
Foto: Republika
Ilustrasi Sahabat Nabi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebelum memimpin shalat subuh, Nabi Muhammad SAW merasa heran. Sebab, beliau tidak menjumpai Sya’ban pada posisi seperti biasa di Masjid Nabawi, yakni shaf pertama tetapi di sisi dekat dinding.

Biasanya, Sya'ban memang selalu datang ke masjid sebelum azan berkumandang. Begitu sampai, ia pun selalu mengambil posisi di pojok ruangan masjid. Alasannya, ia tak ingin menghalangi orang lain yang hendak melakukan shalat sunah.

Baca Juga

Rasulullah SAW pun bertanya kepada jamaah, adakah yang melihat Sya’ban? Tak ada seorang pun yang mengaku melihat sahabat tersebut.

Shalat subuh sempat ditunda beberapa menit demi menunggu kehadiran Sya’ban. Namun, yang ditunggu-tunggu belum datang juga.

Karena khawatir kesiangan, Rasulullah SAW pun memutuskan segera melaksanakan shalat Subuh berjamaah. Hingga shalat itu selesai, Sya’ban belum datang juga.

"Apakah ada yang mengetahui kabar Sya’ban?” tanya Nabi SAW. Namun, tidak ada seorang pun yang mengetahui kabar yang bersangkutan.

Beliau lantas mengajak para sahabat untuk bertamu ke rumah Sya'ban. Seorang dari mereka menjadi penunjuk jalan.

Perjalanan dari masjid ke rumah Sya’ban ternyata cukup jauh.

Akhirnya, Rasulullah SAW dan para sahabat sampai di tujuan tatkala masuk waktu dhuha.

“Benarkah ini rumah Sya’ban?” tanya Rasulullah.

“Ya benar, ini rumah Sya’ban. Saya istrinya.” jawab perempuan yang membuka pintu rumah tersebut.

“Bolehkah kami menemui Sya’ban? Sebab, ia tidak hadir shalat Subuh di masjid pagi ini,” tanya Rasul.

Dengan berlinangan air mata, istri Sya’ban menjawab “Suamiku telah meninggal tadi pagi”.

“Inna lillahi wa inna ilaihi raaji'uun," ujar para tamu.

Kemudian, istri Sya’ban mengatakn, “Ya Rasulullah. Ada satu hal yang menjadi tanda tanya bagi kami. Menjelang wafatnya, suami saya sempat berteriak tiga kali. Masing-masing teriakan disertai satu kalimat. Kami semua tidak paham apa maksudnya.”

“Apa saja kalimat yang diucapkannya?” tanya Rasulullah.

“Dia berucap 'Aduh, mengapa tidak lebih jauh; aduh, mengapa tidak yang baru; dan aduh, mengapa tidak semua,'" kata istri Sya’ban menirukan perkataan almarhum.

Rasulullah SAW lantas membacakan Alquran surah Qaaf ayat 22. Artinya, “Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan dari padamu hijab (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.”

Nabi SAW pun mengungkapkan, Malaikat Jibril telah menyampaikan kepadanya makna di balik kata-kata yang sempat diucapkan Sya'ban menjelang akhir hayatnya.

Nabi SAW menuturkan, tatkala Sya’ban dalam keadaan sakaratul maut, Allah SWT menampilkan gambaran perjalanan hidupnya.

Bukan hanya itu. Semua ganjaran dari perbuatan Sya'ban pun ditampilkan. Namun, apa-apa yang dilihat oleh dirinya tidak bisa disaksikan oleh orang lain.

Sya’ban lalu melihat gambaran dirinya sedang menjalani rutinitas hariannya, termasuk pergi-pulang ke masjid untuk shalat berjamah lima waktu. Allah pun memperlihatkan kepadanya, besarnya pahala yang diperolehnya dari tiap langkahnya ke masjid.

Saat melihat seperti apa bentuk surga yang dijanjikan Allah kepadanya, Sya'ban pun berkata dengan nada mengeluh: "Aduh, mengapa tidak lebih jauh!" Tampak adanya penyesalan dalam diri Sya’ban, mengapa rumahnya tidak lebih jauh lagi supaya pahala yang didapatkannya lebih banyak lagi.

Sya’ban juga melihat gambaran saat dirinya hendak berangkat shalat berjamaah pada suatu hari musim dingin. Baru saja ia membuka pintu, berembuslah angin yang begitu dingin.

Dia kembali ke rumahnya untuk mengambil satu baju pelapis. Maka, ia ke masjid dengan mengenakan dua lembar pakaian, yakni yang bagus di dalam dan yang kurang bagus di luar.

Sya'ban berpikir, jika dalam perjalanan terkena debu, tentulah yang kotor hanyalah baju luar. Niatnya, begitu sampai di masjid, dia bisa membuka baju pelapis dan shalat dengan baju yang lebih bagus.

Dalam perjalanan menuju masjid, dia menemukan seseorang tersungkur kedinginan. Sya’ban pun merasa iba.

Dengan segera, ia melepas bajunya yang paling luar, lalu dipakaikan kepada orang tersebut. Bahkan, ia memapahnya ke masjid agar dapat melakukan shalat subuh bersama-sama. Orang itu pun selamat dari mati kedinginan.

Di detik-detik terakhir sebelum ajal menjemput Sya'ban, Allah SWT menampakkan wujud pahala yang akand diterima sang sahabat Nabi lantaran perbuatannya tersebut. Sya'ban pun melihat, betapa indahnya surga sebagai balasan untuk amalannya itu: memakaikan baju butut kepada orang yang menggigil kedinginan.

Seketika ia berteriak: "Aduh! Mengapa tidak yang baru!?"

Selanjutnya, Sya’ban melihat gambaran ketika dirinya hendak sarapan dengan roti dan segelas susu. Saat akan memulai sarapan, seorang pengemis tiba-tiba mengetuk pintu rumahnya.

Mengaku sudah tiga hari tak makan, pengemis itu meminta sedikit roti dari Sya'ban. Melihat itu, sang sahabat Nabi merasa iba.

Ia lalu membelah roti miliknya dan memberi sebagian kepada si pengemis. Keduanya pun makan bersama-sama.

Allah SWT memperlihatkan ganjaran atas amalan ini kepada Sya’ban yang sedang sakaratul maut. Ganjaran itu ialah surga yang amat indah. Sya’ban sontak berteriak: "Aduh! Mengapa tidak semua (roti diberikan)!?'"

Demikianlah, penyesalan sang sahabat Nabi. Bukan lantaran dirinya telah berbuat maksiat, melainkan amalan kebaikan yang baginya belumlah cukup optimal.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement