Rabu 02 Sep 2020 15:59 WIB

OJK: Pengawasan Industri Keuangan Semakin Solid

Pada akhir Juli 2020, industri perbankan mencatatkan pertumbuhan kredit 1,53 persen.

Rep: Novita Intan/ Red: Friska Yolandha
Staf Ahli OJK Ryan Kiryanto mengatakan pengawasan integrasi sektor jasa keuangan semakin berjalan solid dan sehat pascaberdirinya OJK.
Foto: Tim Infografis Republika
Staf Ahli OJK Ryan Kiryanto mengatakan pengawasan integrasi sektor jasa keuangan semakin berjalan solid dan sehat pascaberdirinya OJK.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menampik wacana peran pengawasan perbankan dikembalikan ke Bank Indonesia. Bahkan sebanyak 48 lembaga keuangan yang bersifat konglomerasi berada dalam kondisi sehat.

Staf Ahli OJK Ryan Kiryanto mengatakan pengawasan integrasi sektor jasa keuangan semakin berjalan solid dan sehat pascaberdirinya OJK. Hal ini melihat gambaran sebelum krisis keuangan pada 2008 dan krisis moneter pada 1998.

Baca Juga

“Isu dari kehadiran OJK pasca krisis 1998 dan 2008 adalah perlu adanya lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang terintegrasi. Sejauh ini sejak OJK berdiri, industri keuangan berjalan solid. Ini merupakan impact dari pengawasan terintegrasi,” ujarnya saat konferensi pers virtual, Rabu (2/9).

Namun menurutnya rencana pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) mengenai reformasi sistem keuangan maupun amandemen UU Bank Indonesia (Perubahan Ketiga UU No. 23/1999) merupakan ranah politik. 

"Kalau kami, tetap fokus menjaga stabilitas keuangan dan mendorong pemulihan ekonomi nasional," katanya.

Ryan menyebut dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi sektor jasa keuangan, OJK selalu melakukan tindakan preemptive yang mengikuti dinamika industri keuangan. "Sampai saat ini industri jasa keuangan berada dalam kategori sehat dan solid," ucapnya. 

Menurutnya pada akhir Juli 2020, industri perbankan mencatatkan pertumbuhan kredit sebesar 1,53 persen, meski dibayangi kondisi pandemi Covid-19. Per akhir Juli 2020, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh 8,53 persen, sehingga tidak ada lagi isu keterbatasan likuiditas perbankan. 

"Jadi, sekarang ini perlu mendorong demand kredit," ucapnya.

Bergesernya isu keterbatasan likuiditas, jelas Ryan, tercermin dari alat likuid terhadap non-core deposit per 14 Agustus 2020 sebesar 128,01 persen. Sedangkan risiko likuiditas berdasarkan alat likuid atau DPK sebesar 27,15 persen. 

"CAR (rasio kecukupan modal) perbankan per akhir Juli 2020 sebesar 23,1 persen," ujarnya.

Menurut Ryan kinerja solid juga terjadi pasar modal yang tercermin dari nilai penghimpunan dana mencapai Rp 63,7 triliun per 25 Agustus 2020, sedangkan Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksa dana per 19 Agustus 2020 tercatat mencapai Rp 519,57 triliun.

"Jumlah emiten baru pada tahun ini, sampai 25 Agustus 2020 sebanyak 32 emiten," katanya. 

Hingga 31 Agustus 2020, jumlah emiten baru Bursa Efek Indonesia (BEI) sebanyak 37 Perusahaan Tercatat. Adapun emiten terakhir yang melakukan pencatatan saham di BEI adalah PT Pinago Utama Tbk sebagai emitem ke-701.

Pada industri keuangan nonbank (IKNB), lanjut Ryan, jumlah investasi dana pensiun per akhir Juli 2020 sebesar Rp 282,74 triliun atau tumbuh 3,33 persen (year on year). 

"Secara umum, industri keuangan kita mampu mencatatkan pertumbuhan positif dalam kondisi ekonomi yang melambat," ucapnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement