REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Pandemi virus Corona telah membawa masa-masa sulit bagi banyak petani dan membahayakan ketahanan pangan bagi jutaan orang, baik di kota maupun di pedesaan. Masalah ini dipersulit oleh hilangnya jutaan pekerjaan karena krisis.
Pakar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan konferensi online mulai Selasa (1/9) untuk bertukar pikiran tentang cara-cara membantu mengurangi kelaparan. Sekaligus mencegah masalah ketahanan pangan di kawasan Asia Pasifik.
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, Food Agriculture Organization (FAO), memperkirakan bahwa jumlah orang yang kekurangan gizi akan meningkat hingga 132 juta pada tahun ini. Jumlah anak-anak yang kekurangan gizi akut juga akan meningkat sebesar 6,7 juta di seluruh dunia karena pandemi tersebut.
"Kita harus menerima apa yang ada di hadapan kita dan menyadari bahwa dunia dan kawasan kita telah berubah," kata Asisten Direktur Jenderal FAO dan perwakilan regional untuk Asia dan Pasifik, Jong-Jin Kim, dilansir di AP.
Ia mengatakan, harus ditemukan cara baru untuk bergerak maju dan memastikan ketahanan pangan berkelanjutan dalam menghadapi pandemi. Serta bersiap menghadapi ancaman yang dapat dan akan berkembang di masa depan.
Pembatasan aktivitas sosial dan bisnis telah membuat produktivitas sektor pangan menurun. Banyak komoditas akhirnya tidak dipanen karena para pekerja tidak dapat melakukan pekerjaan karena berbagai hambatan.
"Keluarga petani juga banyak yang terpaksa menjual ternak dan bisnisnya untuk bertahan hidup," kata FAO dalam laporan yang disiapkan menjelang pertemuan.
Selain wabah corona, sejumlah wilayah juga ditimpa bencana alam seperti topan dan kekeringan, penyakit dan hama. FAO menyoroti kebutuhan untuk membangun kapasitas yang lebih kuat untuk mengelola berbagai risiko pada sistem pangan.
FAO mendesak perluasan akses alat-alat berteknologi tinggi seperti drone dan aplikasi smartphone untuk memantau tanaman, hama dan kondisi pertanian lainnya. Ini dilakukan sebagai bagian dari transformasi sistem pangan untuk membuatnya lebih tangguh dan mengurangi risiko, terutama bagi petani kecil yang paling rentan di negara miskin.
FAO juga mengindentifikasi tempat-tempat rawan pangan seperti Yaman karena lebih dari seperempat juta anak menderita kekurangan gizi parah dan terancam nyawanya tanpa pengobatan segera. Selain itu di sebagian besar negara Afrika karena hampir lima juta orang terancam kelaparan karena wabah belalang.
Tidak hanya itu, negara-negara kaya seperti Amerika Serikat juga mengalami tantangan karena angka penganggur baru mencapai puluhan juta orang. Thailand juga baru-baru ini memberikan bantuan darurat kepada 10 juta petani sebesar lebih dari lima miliar dolar AS.
Laporan FAO yang dirilis untuk konferensi tersebut, merekomendasikan pemberian pinjaman kepada petani untuk membantu mereka menghindari penjualan ternak dan aset lain untuk bertahan hidup. Tercatat bahwa desa nelayan yang giat di Phuket Thailand selatan telah mengatur kesepakatan barter dengan petani padi di timur laut negara itu.
Beberapa nelayan di Indonesia yang tidak dapat mengekspor hasil tangkapannya beralih ke jaring ikan yang lebih terjangkau. Ikan mereka bisa tetap di jual untuk kebutuhan domestik.
Di banyak negara, semakin banyak petani yang juga menggunakan e-commerce dan data digital untuk menyempurnakan penanaman dan aspek pertanian lainnya. Platform e-commerce China membantu mencocokkan penawaran dan permintaan untuk hasil pertanian dan makanan lainnya.
Dalam skala yang lebih kecil, para ahli FAO mencatat bahwa ada banyak solusi potensial pada bercocok tanam secara pribadi. Seperti bertani menggunakan karung atau hidroponik, menanam jangkrik untuk makanan, dan memproses susu unta untuk membuat keju.