REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- JAKARTA -- RUU Cipta Kerja (Ciptaker) dinilai pengamat pendidikan tinggi, Edy Suandi, memiliki sisi positif bagi dunia pendidikan. Salah satunya adalah adanya kepastian atas berbagai kebijakan atau regulasi yang ada.
"Selama ini sangat sering didengungkan bahwa dalam pengelolaan pendidikan sangat tergantung selera siapa yang menjadi menterinya, sehingga muncul adagium: ganti menteri, ganti kebijakan," kata Edy, Sabtu (5/9).
Hal ini juga terjadi dengan yang sekarang ini, yang mengajukan berbagai konsep yang sebagian mengubah drastis kebijakan terdahulu. Dalam beberapa pasal, misalnya, untuk penetapan kebijakan harus melalui Peraturan Pemerintah (PP).
Dengan naungan PP maka siapapun yang menjadi Menteri tidak bisa serta merta atau seenaknya membuat suatu kebijakan tertentu.
Misalnya, dalam UU 12/2012 Pasal 33 tentang Program Studi yang kewenangannya diatur dalam Permen, dalam RUU Cipta Kerja Pasal 33 pengaturan program studi ini dalam bentuk Peraturan Pemerintah.
Hal ini bisa bermakna positif karena lebih ada kepastian, dan menteri tidak bisa semaunya dalam mengatur program studi, seperti mengubah kurikulum, pemberian izin, serta pencabutan izin prodi.
Pengubahan Pasal 60 dengan penegasan bahwa “PTN didirikan oleh Pemerintah Pusat” juga amandemen yang tidak menimbulkan multi tafsir. Karena dalam UU No 12/2012 tidak disuratkan dalam pasal tentang pengertian siapa yang dimaksud Pemerintah tersebut, sehingga bisa diartikan Pusat atau Daerah.
Hal positif lainnya, lanjut Edy yaitu ada penegasan Pasal 65 UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Aturan ini mewajibkan lembaga pendidikan asing pada tingkat dasar dan menengah memberikan pendidikan agama dan kewarganegaraan bagi anak didik Indonesia.
Dalam RUU Ciptaker, anak didik di lembaga pendidikan asing juga diwajibkan untuk menambah muatan Bahasa Indonesia. Namun, memang perlu diperjelas kaitan muatan dan mata pelajaran bahasa Indonesia di lembaga pendidikan asing tersebut.
"Namun demikian memang perlu diperjelas kata muatan dan mata pelajaran. Di samping itu, adanya standar nasional penelitian dan standar pengabdian masyarakat pada jenjang pendidikan tinggi dalam RUU CK juga merupakan amandemen yang baik dalam rangka meningkatkan kualitas riset dan kualitas pengabdian masyarakat (Pasal 35)," kata Edy.
Edy juga memberikan masukan supaya perguruan tinggi asing yang masuk Indonesia harus bekerjasama dengan perguruan tinggi lokal dan kewajiban mendayagunakan dosen dosen lokal.
"Jadi menurut saya ini UU Ciptaker menciptakan lapagan kerja sebanyak-banyaknya. Sebelum Covid-19 di Indonesia ada 7 juta tidak bekerja sama sekali, lulusan perguruan tinggi juga banyak. Lantas kalau PT masuk sini apa ngga bertentangan dengan spirit UU Cipta Kerja. Saya kira ini kan dalam konteks berdiskusi, kita ingatkan saja," kata Edy.
Dirinya mengapresiasi dasar pemikiran dibentuknya RUU Ciptaker yang punya tujuan menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya.
"Sebagai akademisi berpikir saya open minded saja, positifnya banyak negatifnya bisa diperbaiki. Kalau masih banyak yang perlu dikaji, kalau mau bersabar mari diskusikan lebih lanjut," kata Edy.
"Ketika Jadi UU (Ciptaker) atau tidak jadi UU inimemang tidak bisa membuat semua orang setuju. Kalau anggap baik tapi ada yang engga setuju ya jalan terus. Kan enggak bisa menunggu semua setuju," tambahnya.