REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan menilai jumlah partisipasi pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2020 berpotensi alami penurunan jumlah pemilih. Berdasarkan riset yang telah dilakukan, sebanyak 20-46 persen responden menyatakan tidak akan datang ke tempat pemungutan suara (TPS).
Sebagai ilustrasi partisipasi pilkada pada 2015 mencapai 70 persen, 2017 sebanyak 74,2 persen, dan pada 2018 mencapai 73,24 persen. "Jadi katakan ada sekitar 20-46 persen masyarakat yang enggan atau kemungkinan besar tidak mau datang ke TPS, itu artinya potensi penurunan partisipasi," kata Djayadi, dalam seminar daring bertema 'Pilkada dan Konsolidasi Demokrasi Lokal', Sabtu (5/9).
Djayadi mengatakan alasan pemilih enggan ke TPS karena pemilih merasa takut datang ke TPS lantaran pandemi covid-19 yang sampai saat ini angka penularannya masih tinggi. "Pilkada ini terlalu tajam penurunan partisipasinya, bukan karena pemilih tidak mau ke TPS, karena pemilih punya ketakutan datang ke TPS akibat pandemi," ujarnya.
Selain itu, Djayadi juga mengungkapkan tantangan lain yang juga akan muncul pada pilkada serentak 2020 yang digelar saat pandemi, yakni kampanye. Menurutnya petahana akan sangat diuntungkan lantaran posisi kepala daerah saat ini juga bertugas sebagai tim gugus tugas penanganan Covid-19.
"Petahana lebih leluasa tampil di publik selama masa covid-19, sejak maret sampai sekarang petahana punya panggung untuk muncul, karena mereka yang menjadi penanggungjawab masalah covid," tuturnya.
Ia juga menilai kampanye daring akan menjadi tantangan bagi para pasangan calon kepala daerah. Sebab, menurutnya, tidak semua daerah terjangkau jaringan akses internet yang baik.
"Kampanye daring sulit menjangkau pemilih tanpa akses internet, itu bagaimana caranya pemilih tanpa akses internet punya kesempatan dapat sosialisasi tanpa menimbulkan masalah dari sisi kesehatan," ungkapnya.