Jumat 11 Sep 2020 19:01 WIB

Perubahan Iklim Picu Demam Berdarah Naik dan Malaria Turun

Ada perbedaan suhu optimal dalam penyebaran penyakit malaria dan demam berdarah.

Rep: Febryan A/ Red: Dwi Murdaningsih
Nyamuk adalah salah satu penyebar penyakit malaria (ilustrasi).
Foto: AP
Nyamuk adalah salah satu penyebar penyakit malaria (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penelitian terbaru menemukan bahwa perubahan iklim akan mengubah risiko penyakit akibat nyamuk di Benua Afrika. Diperkirakan pada 2080, kasus demam berdarah akan meningkat. Sedangkan kasus malaria, yang kini banyak ditemukan di sana, akan menurun.

"Perubahan iklim mungkin membuat penularan malaria menjadi kurang cocok, tetapi lebih cocok untuk penularan demam berdarah,” kata Erin Mordecai, asisten profesor biologi di Universitas Stanford dan penulis utama studi yang dipublikasikan di The Lancet pada awal September itu.

Baca Juga

Terdapat perbedaan suhu optimal antara kedua nyamuk tersebut. Nyamuk yang menyebarkan malaria lebih menyukai suhu yang relatif dingin, yakni 25 derajat Celcius. Nyamuk penyebab demam berdarah bekerja paling optimal pada suhu 29 derajat Celcius. Pemanasan global akan membuat lingkungan yang lebih nyaman bagi nyamuk demam berdarah.

Sebagaimana dilansir VOA, Kamis (10/9), penelitian itu memperkirakan nyamuk demam berdarah akan semakin banyak dan meningkatkan risiko penyakit tersebut di seluruh Afrika sub-Sahara pada 2080. Sebaliknya, wilayah dengan risiko terbesar malaria diperkirakan akan menyusut, bergeser lebih jauh ke selatan dan ke wilayah dataran tinggi.

Desiree LaBeaud, salah satu penulis riset tersebut, mengatakan, demam berdarah akan menjadi masalah besar bagi Afrika di waktu mendatang. Apalagi tenaga medis di Afrika tak akrab dengan penyakit ini lantaran selama ini hanya menghadapi malaria.

LeBaud yang merupakan profesor bidang pediatri penyakit menular di Universitas Stanford, juga menyoroti tindakan kesehatan masyarakat yang biasa digunakan di Afrika. Kelambu, misalnya, yang selama ini efektif untuk menghadang gigitan nyamuk di malam hari. Namun, kelambu tak akan begitu berguna dalam menghadapi nyamuk demam berdarah lantaran biasanya menggigit pada siang hari.

Sedangkan Mordecai menyoroti persoalan alat diagnostik demam berdarah yang tak tersedia banyak di Afrika. Hal ini bisa mengakibatkan kesalahan diagnosis dan pengobatan yang tak tepat.

Tanggapan Sejawat

Philip McCall, profesor entomologi medis di Liverpool School of Tropical Medicine, merespons penelitian itu dengan serius. Sebab, nyamuk penyebab demam berdarah juga bisa menyebabkan penyakit chikungunya dan Zika.

Di lain sisi, ia tak meyakini bahwa penyakit malaria akan hilang dengan seketika. "Saya tidak bisa melihat malaria, yang begitu mapan di Afrika, menghilang dengan mudah. Jadi, ini bisa jadi seperti masalah ganda,” ucapnya.

Joacim Rocklöv, profesor epidemiologi di Universitas Umeå, menyampaikan pendapat sebaliknya. Ia menyebut riset ini berbasiskan skenario bahwa akan terjadi peningkatan emisi dan penggunaan bahan bakar fosil.

Padahal, kata dia, kini sudah ada upaya untuk mengurangi penyebab perubahan iklim tersebut. Oleh karenanya, ia meragukan prediksi penelitian tersebut.

"Saya pikir jika Anda melihat skenario lain yang mungkin lebih masuk akal, atau mengingat kita membuat perubahan dalam pengendalian emisi, Anda mungkin akan melihat hasil yang sangat berbeda terkait dengan malaria," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement