Kamis 17 Sep 2020 08:59 WIB

Wujud Kemandirian, Kemenperin Kembangkan Bahan Baku Farmasi

Struktur manufaktur terus diperkuat dengan memacu riset agar tercipta inovasi produk

Rep: iit septyaningsih/ Red: Hiru Muhammad
Pekerja farmasi memproduksi obat di sebuah pabrik farmasi di Jakarta Timur.
Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Pekerja farmasi memproduksi obat di sebuah pabrik farmasi di Jakarta Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berkomitmen mendorong kemandirian industri farmasi di Tanah Air. Industri itu dianggap sebagai sektor penting dalam menopang pembangunan kesehatan nasional. 

Salah satu langkah strategis yang dilakukan yakni pengembangan industri bahan baku obat dalam rangka substitusi impor. “Pandemi Covid-19 membuat kesigapan semua negara meningkat, termasuk dalam hal ketersediaan obat-obatan,” kata Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kemenperin Muhammad Khayam melalui siaran pers pada Kamis (17/9).

Maka, lanjutnya, pemerintah terus berusaha memperkuat struktur manufaktur industri farmasi di dalam negeri. Di antaranya dengan memacu kegiatan riset guna menciptakan inovasi produk. “Pada kesempatan ini, kami memberikan apresiasi kepada PT Pertamina yang menjalin kerja sama dengan PT Kimia Farma Tbk. Hal ini dalam rangka pengembangan industri bahan baku obat parasetamol dari bahan baku benzene,” tutur Khayam.

Ia menegaskan, Kemenperin siap mendukung penuh segala upaya pengotimalan potensi nilai tambah dari pengolahan produk turunan petrokimia menjadi bahan baku farmasi, seperti pengembangan bahan baku obat parasetamol. Langkah tersebut merupakan salah satu dari program Prioritas Riset Nasional (PRN) 2020-2024 yang dikoordinasikan dengan Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN).

“Jadi, kami menyambut baik adanya sinergi kedua BUMN tersebut yang juga didukung oleh stakeholder terkait. Sebab diharapkan pula dapat meningkatkan daya saing industri kimia nasional, terutama pada lini industri antara fine chemical maupun specialty chemical,” katanya.

Upaya substitusi impor diyakini dapat membantu menurunkan defisit neraca perdagangan Indonesia khususnya di sektor farmasi. “Selama ini, industri farmasi nasional mampu memproduksi sekitar 90 persen kebutuhan obat domestik,” kata Khayam. 

Sebelumnya Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan, kementerian telah berupaya menambahkan sektor industri alat kesehatan dan industri farmasi masuk dalam program prioritas pengembangan Making Indonesia 4.0. “Hal ini sebagai wujud konkret kami untuk segera mewujudkan Indonesia yang mandiri di sektor kesehatan,” ujarnya.

Kemandirian Indonesia di sektor industri alat kesehatan dan farmasi merupakan hal yang penting, terlebih dalam kondisi kedaruratan kesehatan seperti saat ini. Sektor industri alat kesehatan dan farmasi masuk dalam kategori high demand di tengah Pandemi Covid-19, di saat sektor lain terdampak berat.

Kemenperin mencatat, pada kuartal I 2020, industri kimia, farmasi dan obat tradisional mampu tumbuh paling gemilang sebesar 5,59 persen. Di samping itu, industri kimia dan farmasi juga menjadi sektor manufaktur yang menyetor nilai investasi cukup signifikan pada kuartal I 2020, yakni mencapai Rp 9,83 triliun.

Sehingga, industri alat kesehatan dan farmasi perlu didorong agar dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri secara mandiri. Kemandirian di sektor industri alat kesehatan dan farmasi diharapkan berkontribusi dalam program pengurangan angka impor hingga 35 persen pada akhir 2022. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement